Sabtu, 23 Agustus 2008

cerpen 3

Ketika Penisnya Tertancap di Vaginaku
By: Hudan Nur

Au…
Akh…
ORGASME


ZENA, kamu belum mengerti arti kehidupan pun cinta, begitu kata ibunya menasihati sebelum ia berangkat keluar rumah. Ibunya tahu betul bahwa anaknya begitu banyak memiliki teman lelaki, mereka berganti-ganti. Lain hari lain lagi lelaki yang diajak main ke rumah. Tentunya di saat ibunya sedang tidak ada di rumah.
“Zena, jangan terlalu sering berganti-ganti pasangan. Nanti kamu malah kewalahan. Pilih satu saja, kamu perempuan dilarang poliandri!” Begitu nasihat ibunya ketika usianya dua puluh tahun. Zena tidak terlalu memedulikannya. Ibunya setiap hari pulang larut malam, subuh malah. Dan paginya sering terdengar dengkuran. Dengkuran yang berbeda-beda saban hari.
Ayah Zena pergi meninggalkan mereka setelah mendapatkan wanita pengganti ibunya. Ia pergi entah ke mana? Waktu itu usia Zena tujuh tahun, Zena masih belum mengerti masalah orang dewasa. Sampai sekarang, masih belum ada kabar dari kepergian ayahnya. Entah masih hidup atau tidak. Zena juga tidak terlalu memedulikannya. Baginya, itu bukanlah hal yang penting, sama seperti lelaki-lelaki yang dipergokinya sedang tidur tanpa busana di kamar ibunya. Atau aroma bir yang tersebar saat ibunya pulang ke rumah.
Dulu sekali ibunya pernah bilang bahwa hidup seseorang itu masing-masing. Setiap orang memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri, juga pada dirinya. Toh semuanya yang empu jua yang menjalaninya. Jangan sekali-sekali kamu mencampuri urusan orang lain, kita memiliki hidup yang berbeda-beda. Jadi urusi dirimu sendiri saja.
***
Hampir sebulan ini, ibunya nampak jarang pulang ke rumah. Sekali pun datang, hanya sebentar, satu-dua hari. Lalu pergi lagi, entah kemana? Zena tidak merisaukannya, bukankah itu urusan ibu? Lama-lama Zena merasakan sepi. Sendiri di rumah yang walaupun kecil, tetaplah sunyi. Dia tidak betah kalau harus menyendiri.
Saat-saat seperti ini hanya Leyho saja yang diingininya. Dibandingkan Yhandie, Adhit, Ryan, Dhanie atau yang lainnya. Mereka hanya menggerayangi saja, mulai dari payudara hingga kemaluannya. Atau menindihi tubuhnya. Berdekapan tanpa busana sambil mengunyah bibir sampai lumat. Tidak ada yang lain. Bagi mereka, Zena hanya pemuas birahinya saja. Tapi, tak apalah. Kalau itu mau mereka. Zena selalu dengan senang hati meladeninya. Dia tidak pernah mempersoalkannya. Itu bukan hal besar.
Zena tahu betul mereka masih amatiran dalam hal bersenggama, tidak seperti Leyho. Ia mengawalinya dengan pemanasan. Menciumi atau menjilati seluruh tubuhnya, khususnya vagina. Ia melumat dan mengisap klitoris Zena. Sampai Zena mengerang, menanti untuk cepat ditindihi. Lebih cepat lebih orgasme. Zena keenakan. Akh… lagi… lagi… terus… orgasme.
Memang sulit membangkitkan orgasme wanita. Wanita seperti air harus dididihkan terlebih dahulu untuk panas dan matang. Sedang lelaki tidak, lelaki seperti api yang hanya cukup disulut sedikit minyak akan terbakar. Kepanasan.
***
Suatu hari, Zena kehilangan orgasmenya bersama kepergian Leyho yang lenyap, terkubur dari informasi berita. Leyho menghilang seperti ayahnya. Zena sudah mencarinya kesana-kemari, namun tak ada yang tahu. Dalam diri Zena hanya Leyholah satu-satunya yang mampu membuat dirinya berorgasme.
Zena sudah tidak orgasme lagi ketika disuguhi makanan. Ia sudah lupa bagaimana nikmatnya orgasme ketika makanan masuk melewati mulutnya. Begitupun ketika air meluncur di kerongkongannya.
Seiring kepergian Leyho, orgasmenya. Zena memutuskan untuk pergi dari rumah. Di rumah tak ada orgasme yang didapatnya. Sedang Zena tak tahan kalau harus hidup tanpa orgasme. Ia begitu menggila tanpa kehadiran orgasme. Ia iri pada ibunya yang bisa tertawa karena orgasme. Ia iri ketika mendengar desahan ibunya yang sedikit tertahan. Bersama lelaki manapun, ibu mampu orgasme. Tetapi tidak untuk diri Zena.
Bahkan ibunya masih sempat mendesah, ketika Zena mengutarakan niatnya untuk hidup mandiri. Belajar menata waktu sendiri. Tanpa disadari airmata Zena menetes, menjelang kepergian dirinya ibunya masih mengacuhkannya. Mungkin bagi beliau itu bukanlah urusannya. Pun ketika ia keluar dari rumah. Ibunya tetap berada di kamar. Entah apa yang dilakukannya. Tak ada jawaban darinya. Lalu dihapusnya airmatanya bersama langkahan kakinya meninggalkan rumah, mengejar orgasme.
***
Hidupnya makin memudar bersama orgasme yang tidak dirasakannya lagi. Tidak ada lagi orgasme makan, orgasme minum, orgasme tidur, orgasme senggama terlebih-lebih orgasme hidup. Setiap jalan-jalan yang dilalui Zena, setiap itu pula non-orgasme dijumpainya. Ia lelah. Ia tak tahu apakah masih bisa bertahan? Tanpa orgasme.
Seperti malam ini, ia masih ragu dapat melaluinya? Hasrat orgasme masih menggebu. Sementara kakinya terus melangkahi trotoar yang entah sampai mana ujungnya? Zena tetap tak peduli. Ditatapnya langit, bintang berhamburan di sana-sini. “Apakah bintang juga mengingini orgasme?,” tanya Zena dalam hati. Zena ingin berkata ketika sebuah bintang jatuh dihadapannya namun mulutnya membungkam. Mulutnya juga kehilangan orgasme. Hingga hanya bisa membisu.
Zena tidak bisa lagi menikmati apa-apa, manisnya gula, asinnya garam, perihnya luka, pulasnya tidur, gara-gara orgasme. Yang Zena impikan dari konaknya hanya menata diri, mencari Leyho. Meraih orgasme.
***
Sehari sudah Zena berjalan, kakinya mulai merasa sedikit pegal. Mungkin hanya kakinya saja yang masih memiliki orgasme capai. Maka berhentilah ia di sebuah kedai, sekadar beristirahat. Ketika seorang pelayan kedai tersebut bertanya, pesanan apa yang diingininya, Zena hanya diam,. Matanya mulai berkeliaran, dan terhenti pada satu tayangan berita televisi.
Koresponden lima-enam melaporkan bahwa telah ditemukan sesosok mayat berinisialkan L dengan tujuh bacokan di kaki, tangan dan lehernya.
Berdasarkan hasil otopsi L adalah korban penganiayaan brutal yang dilakukan pelaku. Setelah dua jam kabur, polisi berhasil membekukknya dan langsung membawanya ke kantor polisi untuk diinterogasi. Diduga kuat, pelaku menaruh dendam karena kekasihnya yang inisialnya Z direbut L setelah L menidurinya.
Pelaku menjelaskan bahwa dirinya tidak rela karena kekasihnya selalu memuji-muji L. Terlebih ketika pelaku orgasme dengan Z. Z selalu mengatakan ketidakpuasannya bercinta bersama pelaku. Z mendambakan orgasme seperti yang pernah dilakukannya bersama L.
Ketika L hendak bertandang ke rumah Z, di situlah pelaku menghabisi nyawanya. Pelaku berpura-pura meminta pertolongan korban. Pada saat korban lengah, pelaku langsung menghantamkan bacokan-bacokannya. Setelah yakin korban tewas, pelaku melarikan diri.
Demikian tiga-empat.
Terima kasih lima-enam. Baiklah para pemirsa, kami akan segera kembali selepas info komersial berikut ini, tetaplah bersama kami.
***
“Maaf, mau pesan apa ya mbak?”
Zena tidak menghiraukan pertanyaan pelayan tersebut, telinganya tidak orgasme. Lalu tanpa kata Zena pergi meninggalkan kedai itu. Zena tahu cuma kakinya sajalah yang memiliki hasrat orgasme. Ia hanya mengikuti kakinya melangkah.
Otaknya tidak tahu kemana kakinya membawa dirinya. Terus melangkah.
Kakinya membawa dirinya ke sebuah rumah sakit. Sementara otaknya masih tidak mengerti mengapa kaki membawa dirinya ke sebuah rumah sakit. Apa yang sebenarnya di cari kaki di sini.
Kaki terus berjalan, hidung Zena sudah mulai mencium obat-obatan. Matanya sudah mulai mencari-cari. Pikirannya sudah mulai menerka. Tubuhnya sudah mulai bergelora. Bibirnya sudah bisa menganga, sesekali giginya menggigiti bibirnya. Tangannya sudah mulai mengepal.
Kaki terus saja berjalan, bolak-balik. Namun otak sudah mulai mengerti dan mulai bekerjasama dengan kaki mencari, begitupun mata. Begitupun mulut, tak mau diam. Ia bertanya pada seorang resepsionis untuk memperoleh sebuah jawaban. Jawaban yang akan membuat seluruh anggota tubuhnya bergetar. Perutnya pun tak mau kalah, telinga mendengar bahwa perut sudah mulai berdendang karena lapar. Sudah lama ia tidak merasakan lapar. Lalu kaki menggiringnya ke dapur.
Setelah itu, kaki Zena kembali berjalan dan berhenti di sebuah ruangan. Zena memasuki ruangan itu dengan pelan dan berhati-hati. Ruangan itu begitu senyap yang terlihat hanya lemari-lemari yang tertanam di dinding. Satu-satu lemari dibukanya. Hidung mulai merasakan aroma yang begitu memuakkan. Bagi hidung ia lebih senang mencium aroma bir dari mulut ibunya ketimbang aroma busuk seperti ini. Meskipun diberi pendingin hingga menyerupai es, hidung tidak dapat berbohong bahwa masih tercium aroma tidak sedap.
Kembali tangan Zena membuka lemari-lemari itu, untungnya lemari-lemari itu tidak terkunci seperti pintu ruangan ini. Sudah lima lemari yang dibukanya, tetapi yang diingininya tidaklah ketemu.
Dibukanya lagi lemari lain, Zena sumringah ketika melihat isi lemari itu, sesosok yang sangat dikenalinya. Mulutnya sudah menebar senyum. Tangannya asyik meraba dan beraksi. Zena histeris. Berteriak sejadi-jadinya.
Hingga salah seorang perawat yang melewati kamar itu tidak sengaja mendengarnya. Perawat itu penasaran lalu dibukanya pintu.
Perawat itu menganga, takjub melihat tingkah Zena. Hingga tak sadarkan diri.
Setelah Zena sadar bahwa aksinya berlebihan, mengundang perhatian dan membuat seorang perawat pingasan. Zena keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan rumah sakit tersebut, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tak ada yang curiga padanya. Tak ada yang curiga bahwa di dalam kantong bajunya tersimpan sebatang penis …***


Guntung Payung, 1 Agustus 2005 05.55 PM
Inspired by cerpen WONG ASU…
karya Djenar Maesa Ayu

2 komentar:

IQBAL mengatakan...

yang kutau ketika pelajaran biologi saat sd dulu orgasme itu artinya mahluk hidup, hehehe...

riluation mengatakan...

Dan, aku semalam setelah posting berita ku dan sebelum sahur, sempat membuka cerpen 3 milik mu. saya baru tau kalau kamu seorang sastrawati muda yang punya hak sama dengan cerpenis-cerpenis populer lainnya untuk di publish. kalau udah terbit yang baro kirim ke aku ya..I

TERIMA KASIH ANDA TELAH MENGAPRESIASI CERPEN SAYA SEMOGA JUMPA LAGI