Rabu, 03 September 2008

cerpen 4

Tuhan, Hudanilah Aku…


KARATAU masih seperti kemarin. Lugu, belum ada tanda-tanda transisi. Ia terhampar di kaki gugusan meratus. Sejuk. Bagiku, ia salah satu surga dunia yang pernah kukenal sejauh ini. Ya, aku bangga telah mengenalnya. Dia jugalah yang menjadi saksi kami, dari datu-datu, kakek, ayah dan aku tentunya. Terlalu indah untuk dilupakan. Ia menyimpan semua ketahuannya akan curahan perasaanku yang kemarin pernah aku keluhkan kepadanya, sesaat menikmati keperawanannya. Akan cinta-cintaku, Winda, Rahmi, Ratna, terlebih-lebih gadis cantik, berkerudung, putih… akh… Yayu namanya. Ketika namanya kusebut, hatiku berdegub apalagi bila aku berpapasan di jalan, di kelas misalnya. Akh… ia selalu mengubar senyum manisnya. Bibirnya. Wajahnya. Aku, aku, aku tidak bisa melupakan itu. Aku sangat mencinta. Oh Yayu.

Kami sama-sama bersekolah di SMAN 1 Barabai. Kedekatan perasaan ini, berawal saat aku dipercayakan memangku jabatan ketua osis di sekolah itu. Dan Yayu, bendaharaku. Biasanya, sebelum tidur, aku senantiasa mentasbihi namanya. “Aku tergila-gila padamu, Yayu sayangku!,” batinku menyeruak, jantungku tidak bisa mentoleransi ketika kusebut namanya. Seperti inilah jatuh cinta?, akut dan bisa membunuh.

“Maaf! Aku tidak bisa, kita berteman saja ya…?,” jawabnya ketika aku mengatakan perasaanku untuk kali ketiga. Karena setahun cukup bagi hatiku menahannya. Dan sebentar lagi pengumuman kelulusan di pamerkan. Aku tidak mau menyia-nyiakannya dengan berdiam diri, menahan egoku. Aku tidak mau kecewa karena terlambat. Ya, aku tak mau itu terjadi. Berkali-kali sudah kuutarakan ketulusan cintaku ini lewat surat, sms atau ungkapan langsung. Tapi, tetap saja ia menolakku. Apakah ketulusan masih kurang?

***

Kisah ini berawal. Ketika aku gagal memenuhi impian orang tuaku. Aku gagal masuk STPDN karena yang lain tidak mengandalkan kepiawaian otak tapi kelihaian melubangi dompet sendiri atau koneksi dengan pejabat di atas, orang pemda, bupati atau berkerabat dekat dengan gubernur. Sehingga rekomendasi menjadi tolak ukur, siapa saja yang berhak memasuki sekolah tersebut.

Kembali aku terluka karena gagal mencumbu mentari. Seperti hatiku, terluka oleh cinta. Masih adakah yayu-yayu yang lain atau cinta-cinta yang lain? Masihkah?

Sebagai gantinya, aku terpaksa kuliah di UNLAM Banjarmasin. Dengan jurusan yang kurang aku suka dan kuasai. Karena bakatku, bukan di situ. Aku mempunyai talenta kepemerintahan, aku pantasnya bukan di sini. Karena aku membawa gen pemimpin, yang kelak membawa bangsa ini pada kesentosaan. Tetapi? Bagaimana mungkin, Indonesia bisa bebas dari kemelaratan kalau rakyatnya demikian? Bagaimana mungkin aparat militer dapat mengamankan negaranya? Atau mungkinkah seorang polisi memberantas korupsi, nepotisme? Sedang untuk masuk pendidikan saja harus mengeluarkan puluhan juta agar diterima! Akh.. mana mungkin bisa? Polisinya saja begitu? Bagaimana mungkin maling menangkap maling, kalau maling teriak maling? Ya beginilah, sketsa wajah bangsaku yang penuh polesan. Kemunafikan. Semakin kaya materi dan pandai, semakin pintarlah orang memintari orang. Ke mana nantinya negara ini? Generasinya lahir dari orang tua yang juga bobrok. Mungkinkah generasi bobrok dapat menggebrak dunia? Mustahilkan? Buktinya, tingkat pendidikan Indonesia kian tahun kian merosot! Nah, terbuktikan? Generasi bobrok!! Seperi kamu, pejabat tengik yang kini sedang duduk keenakan di bahu orang kecil. Atau kamu, pengusaha batubara yang terus-terusan mengeruk amanah Tuhan, dan mengumpulkannya untuk pembangunan rumah-rumah mewahmu. Kasihani, anak-isterimu yang memakan hasil ulahmu. Bukankah, jika kau menanam kebaikan, kelak akan menuai kebaikan pula? Lalu….? Yang jelas aku tidak mau ikut-ikutan. Aku tahu, aku bukan orang baik tetapi aku akan lebih baik setidaknya tidak seperti mereka. Menyalahgunakan kepercayaan rakyat untuk kepentingan sendiri. Seperti mereka, tikus-tikus, anggota DPR-DPRD yang asyik berdiskusi, bagaimana caranya menggaet proyek yang nantinya berpulang untuk tambahan saham di kantong sendiri. Atau bagaimana upaya agar pada pemilu tahun berikutnya bisa mempertahankan kursi yang di dudukinya sekarang. Sekali lagi, itulah sketsa wajah bangsaku yang penuh polesan. Serigala berbulu domba. Oh tidak, kadal bermuka kera.

Sedang aku dan rakyat-rakyat lain hanya bisa mengisap jempol melihat aksi mereka. Mau mengadu? Pada siapa? Mereka berkomplot, menguasai pertiwi ini. Karena sama-sama tikus. Sama-sama bekicot. Padahal kami tahu bahwa bekicot itu menjijikkan, tapi apakah bekicot-bekicot itu tahu dirinya menjijikkan? Kalau ia juga berteman dengan bekicot?

Aku meluka karena semua ini. Aku meluka karena nasib, juga karena cinta.

Masih adakah cinta lain yang juga suci? Melebihi ketulusan cinta-cintaku sebelumnya.

Cinta… cintailah aku, cinta!

Sayang… sayangilah aku, sayang!

Kasih… kasihilah aku, kasih!

Peluk… pelukilah aku yang mendambamu!

***

“Ass. Maaf mengganggu. Kenapa sih kamu selalu memusuhiku? Apa salahku sama kamu? Aku hanya orang kampung yang datang ke kota besar seperti ini untuk bersekolah”, kukirim sms itu ke nomor 081349532305. Nomor itu kudapat dari kawanku Riza yang kini menempuh pendidikan di STIS, Jakarta. Mulanya, ia mengundangku untuk mengenalnya. Sewaktu, aku kebingungan mencari ruang perkuliahan seminggu yang lalu. Kami berpapasan di jalan, dan tiba-tiba saja ia menegurku.

“Namamu Aurakan? Aku teman sekelasmu, kita sekarang ada mata kuliah agama dan bertempat di aula dua?,” sapanya sambil memperkenalkan namanya. Lalu kuikuti saja langkahnya. Karena aku buta sama sekali dengan lingkungan baru ini.

“Perempuan aneh!”, hatiku berbisik. Sungguh dia perempuan agresif. Aku tidak pernah menemui manusia seperti dia. Dan mata itu, mata yang ada dibalik kacamata itu, mata yang….

“Wss. Drmn km th no.q? Lalu apa urusanmu dgnq? Jgn ganggu aq!,” dasar wanita aneh gumamku. Aku dibuatnya bingung. Apa salahku sehingga ia begitu? Ia begitu ketus. Kasar. Tidak lembut sedikitpun padahalkan dia seorang wanita. Guratan keibuanpun tak tampak dari kesehariannya. Berkali-kali aku mengirim sms dengan niatan baik. Untuk berkawan. Tetapi yang kuterima hanya makian, umpatan-umpatan kasar, seperti brengsek. Ada apa dengan dirimu? Wahai wanita aneh….

Jujur saja, aku tidak pernah mendapat perlakuan demikian sebelumnya. Apalagi dari seorang wanita. Tidak sekalipun. “Oh, Tuhan! Ampuni hambaMu. Hudanilah langkahku supaya tidak mengecewakan orang-orang terdekat, seperti ibu-bapak. Bimbinglah, hudanilah aku!,” pintaku padaNya ketika menutup rutinitas wajib setelah seharian penuh diujiNya. Dengan begini, perasaanku kembali tenang. Meskipun wanita itu terus memusuhiku. Tak ada sebab yang jelas, kudapat dari alasannya. Hanya segenap amarah yang ia tumpahkan di setiap sms kirimannya. Padahal kan… aku….

***

Anehnya lagi setiap sms yang kukirimkan untuknya selalu di balasnya. Puluhan kali bahkan. Padahal kan, katanya ia tidak suka dan mengganggapku musuh, tapi kenapa selalu di balas? Dasar wanita aneh.

“Ass. Kamu lagi ngapain?,” tanyaku lewat sms yang baru saja terkirim.

Status of +6281349532305 delivered. 20.05 WITA 24 September 2004.

“Wss. Aq lg mkn. Sebentar lagi slesai, lalu mo k kafe mamanda. Knp sih nanya-nanya? Kurang kerjaan!,” begitulah isi balasannya. Sama seperti yang kulakukan. Makan. Sekarang aku bersama teman sekamarku, menyantap hidangan di sekitar cendana. Maklum, anak kost, menginginkan yang serba praktis. Instant kalau bisa. Dan ini adalah juga yang kali pertama aku lakukan. Keluar malam. Sedari kecil, di Karatau sana. Meskipun aku seorang laki-laki, tapi tak sekalipun aku menghabiskan waktu di luar. Sehabis maghrib, aku mengaji, makan malam, lalu belajar. Tidak sekalipun aku keluar.

Dinginnya udara malam Banjarmasin, tidak sebanding dengan hawa pegunungan, tempatku dibesarkan. Baginikah Banjarmasin dalam warna malam?, bising. Berbeda jauh dengan kondisi di kampungku sana. Jam begini, penduduknya tak ada lagi yang berkeliaran. Sekalipun ada, itupun karena pengajian atau kenduri seperti mahaul.

“Nasi sama teh es, berapa Cil?,” tanyaku, sambil mengeluarkan selembar uang lima ribuan.

“Tiga setengah,” jawabnya dengan menyerahkan selembar ribuan dan lima ratusan.

“Tukar Cil lah?”

Di jalan, aku selalu kepikiran. Akan wanita itu. Setiap kendaraan atau apa saja yang kulihat selalu saja wajah wanita itu membayangi.

KAFE MAMANDA. Itukan?

“Assalamu’alaikum. Kamu ada di mana sekarang?”

“Aku lagi duduk-duduk di kafe!”

“Ini aku ada di depan kafe?”

“Aku tahu, kamu pakai baju hijaukan?, mundur lima langkah dari kamu berdiri sekarang?”

“Kamu melihatku?”

“Ya donk! Ayo mundur!”

“Aku…!,” pangling,dalam kebingungan.

“Ya gitu, selangkah lagi. Nah, udah liat aku kan?”

“Iiiiyaa..,” jawabku seraya menutup telepon genggamku.

“Hai!,” sapanya.

Aku hanya senyum, tipis.

“Duduk yuk? Sambil ngobrol-ngobrol gimana?,” ajaknya.

Aku tertegun, tidak biasanya ia seramah ini. Aku begitu terkesima.

“Mau minum apa? Kopi atau teh?, Jangan sungkan”

“Terima kasih, aku baru aja selesai makan?”

Nih!, cobain kacang rebus. Enak lho?,”tawarnya.

“Iya!,” jawabku singkat.

……….

***

“Tuhan hudanilah aku, hudanilah dalam memilih. Jalan mana yang Kau ridhai,” ucapku setelah kejadian kemarin. Bersama si wanita aneh. Wanita ketus, kasar, selalu memusuhiku, yang sesekali baik, sesekali ramah, sesekali…

Wanita itu…??

“Aku harus berani! Ya, harus. Apapun hasilnya,” perintahku pada tubuhku yang semakin gemetaran.

“Terima kasih ya… bukunya?,” seraya menyerahkan ke tangan wanita aneh itu. wanita yang…

“Awas kalau lecek!” jawabnya, lagi dalam nada ketus. Khasnya., sambil membolak-balik. Memeriksa kalau-kalau ada kecacatan.

Sebentar.

Ada yang lain dari wanita aneh itu, sehabis memeriksa bukunya. Ia tersenyum. Untuk yang pertama. Manis. Manis sekali. Senyum yang sudah lama kudamba. Memikat. Dan matanya. Matanya memancarkan rona lain. Dia tersenyum dan tertunduk. “Aku juga,” jawabnya sambil menenggelamkan wajah yang kian memerah. ***

TERIMA KASIH ANDA TELAH MENGAPRESIASI CERPEN SAYA SEMOGA JUMPA LAGI