Sabtu, 23 Agustus 2008

cerpen 2

Menjemur rindu di tiang asmara

(Diary cinta__ Ilalang Musim Kemarau di19 tahun hidupnya)
Oleh: HUdan Nur



AKU ILALANG

Aku ilalang
Terhampar disunyi padang
Yang tak kuasa meraih mimpi
Karena asa yang dimangsa waktu

Aku ilalang
Yang tercampak di padang gersang
Kerap kerayu bunga-bunga jalang
Kucoba menggeleng
Tapi aku hanya ilalang

(Mr/ Mrs/Miss NN, Forgot Banjarmasin Post)



ILALANG menggeleng, diterpa angin. Kerap hanya tiupan tersapa adanya. Ya, itulah adanya. Jendela penghubung antara intuisi dan pembicaraan yang terbelenggu dari hati ke hati. Hanya gelengan ucapku. Tak lain. Hanya hembusan yang memulainya dan memahami jawabanku. Tak lain. Hanya sentuhan nafas yang mampu mengartikan gelengan-gelenganku. Tak lain.
13 Maret besok usiaku sembilan belas tahun. Lumayan. Apa yang mesti dibenahi? Apakah aku harus mengubah segalanya? Penampilanku? Rambutku? Wajahku? Tubuhku? Semua apa-apa hidupku?, aku akan buat sensasi. Bahwa aku benar-benar berubah, bukan ilalang yang dulu pernah dikenal. Tapi ilalang baru, ilalang yang dibuat ilalang sendiri. Ilalang yang lain, lain, selain-lainnya. Penuh kelainan.
Besok aku ke salon, memangkas semua rambut sampai botak. Lalu mempermak wajah dengan minyak bulus yang sudah dicampurkan lidah buaya yang konon katanya bisa membantu pembuatan sel melanin menjadi violet. Aha! Lalu aku akan meminum ramuan biji cabai rawit ditambah daun pepaya serta seperempat gram margarin. Guna menambahi dua puluh centi tinggiku, begitu kata buku primbon tradisional yang kupinjam senin kemarin di perpustakaan.
Tapi… ada satu hal yang tidak bisa berubah. Aku masih bertahan disatu hati. Seperti malam yang selalu setia bersama kegelapan atau matahari yang senantiasa memancarkan kehangantan atau hujan yang selalu setia menyeringai bumi bersama tangisannya. Bulan yang tetap setia bersama kecantikannya. Takkan pernah berpendar, setia hingga hayat. Takkan memudar atau lapuk di telan usia. Aku masih menaruh harapan, meski kini …
Aku masih setia disatu hati. Aku tak mampu berpaling. Darimu Hezkivasta. Meski…

***
Aku sudah berubah, berubah menjadi gadis yang baru. Sesiapapun tentu pangling menatapku. Aku kini lain. Tidak seperti kemarin. Penampilanku sudah mengubah pandangan orang-orang terhadapku. Dahulu, mereka sering menghinai aku, karena aku hanya ilalang biasa. Ilalang musim kemarau, yang bisanya cuma bergoyang disapa angin. Sedang mereka ilalang langka keturunan oryza sativa yang jika disapa angin tidak bergoyang kecuali disapa cinta. Karena mereka punya cinta dan cintanya juga cinta kepada ilalang yang dicintainya. Sedang aku, jangankan disapa cinta merasai cinta saja sulit. Nampaknya cinta tidak hadir untukku.
Seiring perubahan ini, berdecak pula kekagumanku yang sekarang dipenuhi obsesi. Aku tidak tahu, apakah dengan begini ia akan memandangku? Setidaknya, mengerti bahwa masih ada aku di lain sisi yang senantiasa menzikiri namanya. Mudah-mudahan.
Namun, aku tidak tahu persis, bagaimana pandangan mereka terhadapku? Miring atau? Aku tidak berani memprediksinya. Aku juga tidak pernah mengerti kenapa penampilan begitu berarti? Begitu penting dalam penilaian? Bukankah seseorang itu tidak dapat diketahui dari luarnya saja? Sebegiitu pentingkah penampilan di mata mereka? Apakah Hezkivasta pun demikian? Mementingkan penampilan di atas segala-galanya?

***
Angin berhembus. Aku pun turut bergeleng. Menggeleng untuk tidak bergoyang. Tapi, aku hanya ilalang yang tak tersentuh cinta. Ilalang malang, yang tergolek lemas dikekurangan. Tak tercumbui cinta.
Apakah ini suratan bagi diriku, ilalang musim kemarau. Beginikah kelayakan yang pantas aku terima selama sekian lama menanti. Sebuah penantian sejati. Penantian setiaku seperti kemarin. Apakah begini suratan yang tergaris kehadirat hidupku. Sepanjang sejarah kehidupanku.
Demikian aku lalui dengan meluka. Setidaknya bersama luka aku dapat membuktikan bahwa aku senantiasa menyetia ikrarku. Bertahan di satu hati.
Demikian aku temui setelah hati bergetar. Setidaknya getaran yang mempertahankan keberadaanku untuk bertahan. Bertahan untuk hidup.
Demikian aku rasakan sesak, setelah aku dilanda rindu. Rindu yang berbuncah pada sebuah pertemuan. Dalam diam. Setidaknya bersama rindu aku dapat meniti dan menyusun mimpi-mimpi pertahanan. Pertahanan untuk tetap berangan.
Demikian aku memilu bersama pengirian aku bertahun-tahun. Aku iri pada cinta-cinta yang diperoleh ilalang-ialalang lain. Setidaknya mengiri dapat mengobati luka bahwa aku pun masih mempunyai hasrat untuk menjerat asmara. Tetapi, kenapa aku hanya mendapati luka, hingga aku meluka. Apakah dengan meluka aku disandingkan? Apakah aku tidak pantas memeluk cinta? Cinta tidak ditakdirkan untukkukah? Aku begitu menggelora, menunggu kedatangan cinta.
Demikian pedihkah menjaga sebuah hati agar tidak musnah? Aku sudah benar-benar memedih menunggumu cinta. Apakah meluka dulu sebelum bercinta denganmu cinta?
Demikian aku mengeluh, merintih karena cinta hanya berlalu dihadapanku.
Demikian aku.
Demikian.
***
“Kapan?”
“Kemarin!”
“Yang benar?”
“Suer dech!”
“Sok pasti romantis abis?”
“So yes gitu loh!”
“Idih”
“Keren banget, emang pasangan serasi mereka itu?, aku aja ngiri?”
“Ya sich, Hezkivasta ama Makalah emang pas! Nggak kayak si Ree culun abis!”
“Iya ya, pacarmu itu culun sama ama selingkuhanku Daoram. Aku ikut-ikutan ngiri nich. Aku juga mau ngegaet lelaki kayak Hezkivasta!”
“………”
Tidak.
Hezkivastaku.
***

Irama musikku tidak merdu lagi didengar. Namun itulah irama hidupku. Senandungnya tampak riuh bercampur gaduh, gulana.
Apakah perubahan yang kuhaturkan, tidak menuai hasil? Padahal mereka begitu memandangku, lalu kenapa Hezkivasta tidak, justru melangkah lebih jauh? Meninggalkanku. Apakah kekuranganku? Apakah penampilanku masih kurang hingga dia tidak memandang perubahan ini semua?
Aku terus melukakah?
Memang kuakui sungguh dalam kehadiranmu. Aku tak mampu menahan cemburu. Aku tak mampu menahan pilu. Aku tak mampu menahan sembilu. Aku tak mampu, Hezki…
Pedihku masih terasa karena hanya meluka aku hidup. Tidak untuk kasih. Sedang aku sangat mengingini kasih. “Semoga aku bisa menikmati saat-saat ini, bukankah hidup itu indah?” tanyaku saat angin berhembus.
Aku tidak dapat menengadahkan langit untuk turut memohon. Agar hidupku dapat dikirimi cinta. Tapi sampai saat ini aku tidak dapat menundukkan langit. Begitu sulit bagiku. Jangankan menundukkan, menatap langit saja aku susah, kecuali angin mengantarkanku menghadapnya.
Dalam gelap malam aku termenung. Kali ini tidak untukmu, Hezki. Melainkan untuk pengorbanan kesetiaanku yang berakhir di lelambaian angan-angan. Mimpi perwujudan. Penuh harapan. Aku tak mau menjemput kesia-siaan. Aku ingin memeluk cintaku. Sembilan belas tahun bukan hitungan sedikit. Berlama sudah aku menautkan hatiku. Apakah aku sedemikian hingga cinta tak mau memelukku?
Dalam gelap malam aku terus berzikir. Biasanya dalam gelap seperti ini aku habiskan bersama gadang yang tiada berujung sampai fajar menyingsing. Tapi tidak untuk kali ini. Aku betul-betul kecewa. Biarlah sudah, aku sudah kehabisan cara untuk menggapai cintaku. Segenap perubahan fisikku telah kurelakan. Aku kehilangan rambut yang berjuntai lurus karena kupangkas. Aku ubah semua apa-apa hidupku, sementara aku terus menuai luka. Kepedihan. Inilah suratanku, suratan buat hidup ilalang musim kemarau.

***
Untuk pertama kalinya, aku tidur di kegelapan. Melupakan luapan emosi cintaku. Keinginan untuk memiliki. Bertemu cinta pada sebuah pelukan. Setelah bangun aku juga tetap tidak bisa melupakan cinta. Hezki.
Pagi ini aku mencuci, mencuci semua perasaanku. Tapi tidak untukmu lagi, Hezki. Melainkan untuk siapa saja yang memandangku, guna mengemis kasih. Aku tidak mau lagi mengemis simpati dari cinta yang tak tahu arti pengorbanan. Cinta yang demikian tidaklah purna. Cinta yang hidup di atas kepedihan orang lain tidak akan menyapa kebahagian. Itu pasti. Karena cinta tumbuh tidak untuk melukai.
Pagi ini aku cuci perasaanku, kucuci rinduku. Rindu memeluk cinta dengan airmata pengorbanan lalu kusabuni bersama detergen kesetiaan. Kubilas bersama airmata kasih, penantian yang dulu aku semai. Hanya begini adaku, supaya bisa melupakan kegagalanku sebelumnya. Tapi…
Aku sungguh sulit melakukannya. Aku sulit berpaling dari satu hati itu. Hati yang bertahun-tahun aku pupuk. Aku tidak kuat jika harus melupakan kesetiaanku itu. Bersama malam yang juga setia dikegelapan. Aku tak tahu.
Lalu rindu-rinduku itu kujemur. Kubentangkan seutas tali sepanjang dua meter tepat di hadapan aku tinggal. Kutenggerkan tali itu di tiang asmara. Aku jejerkan satu-satu rinduku di tali itu. Semoga rindu-rindu itu bisa kering di tiang asmara. Tidak lagi basah setelah tadi aku sirami bersama airmata pengorbanan.
***
“Kapan?”
“Kemarin”
“Yang benar?”
“Suerr dech!”
“Sok pasti sakit abis?”
“Sok yes gitu loh!”
“Idih”
“Sakit banget, emang pasangan yang kurang serasi mereka itu?, aku kasian dech!”
“Ya sich, Hezkivasta ama Makalah emang nggak cocok! Nggak kayak si Ree setia abis!”
“Iya ya, tragis betul kisah mereka. Kasian Hezkivasta dikhianati Makalah. Padahal ia begitu setia!”
“Kira-kira siapa ya?, Yang mengganti kedudukan Makalah? Siapa yang betul-betul setia pada Hezkivasta?”***


Guntung Payung, 29 Juli 2005 07:40 PM

Tidak ada komentar:

TERIMA KASIH ANDA TELAH MENGAPRESIASI CERPEN SAYA SEMOGA JUMPA LAGI