Senin, 29 Desember 2008

cerpen 5



Lagi, aku terus berlari. Pokoknya aku harus bertemu dengan kau. Betapapun caranya. Kulalui sejengkal demi sejengkal satu-satu sisa desahan nafasku yang kian saat kian melemah, apapun yang terjadi kutemui kau. Sebelum waktuku habis. Denyut jantungku pun semakin kencang, mengalahkan langkahku berlari. Saking lelahnya berlari, aku tidak memperhatikan pandanganku ke depan, mataku hanya tertuju ke tanah karena menurutku cuma tanahlah yang kini dapat menyaksikan perjuanganku untuk bertemu dengan kau. Adakah peluang itu berpihak ke tanganku? Aku tak tahu. Siapakah yang peduli dengan harapanku?
Aku sudah lupa berapa lama sudah aku berlari, karena keberadaan waktu bagiku bukan apa-apa. Aku tidak mau diperalat waktu, meskipun demikian akupun sadar bahwa hidup itu sendiri tidak dapat terlepas dari kekakuan sang waktu. Akh, buat apa memikirkan dia, karena dialah juga, aku begini. Hidup terlunta-lunta, bersembunyi dari satu malam ke malam berikutnya dan hanya kaulah satu-satunya yang bersedia menjadi sahabatku, mendengarkanku. Aku sangat berhutang budi pada kau. Sekarang aku harus menemukan kau. Oh… kau di mana keberadaanmu sekarang ???! Aku sudah tidak tahan lagi…
Tidak. Aku tidak boleh memporsir pikiran hanya demi umpatanku atas ketidakberdayanku melawan segala. Apakah segenap upaya harus diakhiri pengorbanan? Kalau begitu, pengorbanan apa yang pantas membela kehadiranku. Sementara kebenaran dianggap sebagai sebuah anggapan. Sesuatu yang benar belum tentu benar begitupun kesalahan. Di mana letak kebenaran yang sebenar-benarnya? Lalu, tiba-tiba semuanya gelap, udara terbius pekat padahal malam belum saatnya menjelma. “Ada apa ini?”

*****
“Sen! kamu mencariku seperti sebelumnyakah? Karena awan buru-buru menjemputku. Katanya, kamu tidak sadarkan diri. Jangan bergerak!, kondisimu belumlah purna! Istirahatlah!,” pinta kau, disaat Seni mencoba menggerakkan anggota tubuhnya.
“Ternyata, aku masih bernafas!,” kilah Seni tanpa menjawab pertanyaan kau.
“Sen, duka apa lagi yang kamu rasai berbagilah denganku?, ceritakanlah! aku selalu siap mendengar pengaduanmu!?!!”
“Aku minta maaf kau!, karena selama ini aku terlambang hanya bersamamu disaat aku dilanda kepiluan, seperti aku dikecewakan kekasihku dulu. Tapi sungguh bukan begitu hasratku, karena di jalananku ini hanya ada satu sisi yakni minus. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku terlahir dalam keadaan seperti ini. Aku tidak tahu kau! Aku malu…,” keluh Seni.
“Sen, bagiku semua itu tidaklah penting. Yang penting, diriku dan dirimu masih tetap bisa memandang senja tenggelam berdua, aku tidak peduli apapun keadaanmu?,” hibur kau.
Kehambaran hati Seni terobati oleh kata-kata itu, “Terima kasih kau. Setidaknya masih ada yang mau mendengarkanku. Aku tidak tahu harus memulainya darimana? Jujur saja kau!, aku sudah penat. Orang-orang di bumi semuanya… mereka memfitnah aku. Aku yang tidak tahu apa-apa!??, aku bingung mengapa hal ini bisa demikian??”
“Bisa demikian? Maksudmu apa Sen???, aku tidak paham!,” tanya kau heran.
“Ketahuilah kau, bahwasanya semua manusia telah memakaiku sebagai tameng. Semua kelakuan buruk apalagi! Aku… Aku…benci! Sementara aku tidak mengenal siapa mereka? Tapi atas perilaku mereka itu disebut-sebutnyalah aku. Seni!”
kau semakin heran, “Sen, mengapa demikian? Aku tidak mengerti penjelasanmu itu?”
“Akupun demikian kau. Ketika aku berjalan di stasiun kereta api yang dipenuhi kerumunan penumpang, satu di antaranya berteriak ‘Jambret… Jambret….!!!’, lalu orang di sampingku tertawa sementara yang lainnya asyik mengejar si penjambret tersebut ‘Bodoh! andainya saja ia tahu seni mencopet manalah mungkin ia ketahuan, dasar payah!’ dan aku hanya diam mengartikan maksudnya. Aku berjalan lagi, entah kemana? Kulihat orang-orang berdesakan. Aku merasa heran ada apa? Lalu kudekati mereka, salah satu di antaranya mengatakan bahwa sebentar lagi pertunjukan seni teater akan segera dimulai. Akupun terdorong oleh desakan orang-orang di belakangku. Aku masuk ke tempat itu. Tempat yang sangat gelap dan yang ada hanyalah lampu-lampu kecil yang menyoroti dari atas sebuah podium dengan ukuran yang maha besar. Kudengar mereka menyebutnya panggung arena. Satu-satu orang keluar dari bilik podium raksasa itu serta merta lenggak-lenggok bergaya sambil berkata-kata. Sebuah tontonan yang mengaysikkan yang mengisahkan seorang lelaki dengan bolanya, ia gelindingkan dan sesekali dilemparkannya. Suatu ketika bola itu melayang menyambar ke arah salah satu jendela di keliling podium itu, lalu pecah. Lagi, aku diam. Lagi, mengartikan maksudnya. Kemudian aku berjalan lagi, lagi-lagi aku bertemu orang-orang. Ada seorang betina menangis, dengan tak sehelai kainpun membalut tubuh eloknya. Ia terus menangis dan meronta. Ia histeris dan berkata dalam tangisannya yang sebisa-bisanya itu; ‘Keperawananku telah dirampok, kemaluanku telah dijarah, diriku sudah disahaya…, biadab! Bangsat!’ lagi-lagi aku hanya diam. Dan lagi-lagi, mengartikan maksudnya. Aku tidak kuat menahan amarahku, aku teriak lepas, tanpa peduli dengan sekelilingku. Lalu aku berlari… berlari… dan berlari mencarimu! Aku pusing, aku bingung dengan apa yang terjadi!?”
“Begitukah???, begitukah mereka??? Memakaimu atas dasar hal yang dianggapnya lumrah. Mereka benar-benar telah memfitnahmu!,” iba kau.
“kau, setiap apa yang mereka lakukan berazaskan aku. Orang memperkosa orang dikatakan seni memperkosa, Orang mengikuti lomba tari dikatakan mengusung dan membudayakan seni tari. Ada juga orang yang bercinta mereka mengatakan seni bersenggama. Bahkan mereka menjabarkannya lagi dalam sebuah buku yang berjudul 69 seni bersenggama, khusus bagi anda yang ingin menikmati kenikmatan lebih. Penasaran, apa isinya lalu kubuka halaman perhalaman ternyata? Jijik aku melihatnya. Sepasang insan dengan kebugilannya berdekapan, sang betina dipeluk lawan jenisnya dari arah belakang menuju ke kiri. Ini dinamakan teknik menyamping. Bulshit, pantaskah buku semacam itu beredar dengan kandungan yang memuakkan? Parahnya lagi, aku membaca spanduk yang bertuliskan seni adalah seni. seni berkebebasan. lakukanlah apa yang kau mau sesukamu! Hidup seni!!! nanar aku melihatnya, sedemikian burukkah sudah seni di mata mereka. Lalu diinjak-injak oleh mereka yang mengaku-ngaku bagian dari seni. Padahal tahu apa sih mereka tentang aku? namaku dijual dimana-mana. Diseluruh belahan dunia ini. Bahkan mungkin sudah merambah ke luar angkasa sana. Katakan kau, aku harus berbuat apa?”
“Sen, tenanglah. Ini adalah ujian dari Tuhan bagi hambaNya dan Ia masih memberikan kesempatan bagimu untuk membeberkan semuanya kepada manusia-manusia itu, mengubah persepsi yang salah kaprah atas dirimu Seni. Aku percaya kamu pasti mampu melakukannya. Tapi……!!!???”
Mendengar jawaban yang menggantung dari kau, Seni bertambah bingung “Tapi…, tapi apa kau?”
“Maaf Sen, bukan apa-apa. Tapi, Tuhan sendiri memakaimu atas apa yang ia kehendaki. Ia membuat dunia ini dengan seni. Tanpa seni, aku tak tahu apa jadinya tempat kita menginjak ini? Ayat-ayat yang diturunkanNyapun memakai seni bahasa yang indah-indah. Bahkan ada umat agama yang menuliskan ayat-ayat kitab suci agamanya ke dalam seni kaligrafi dan ajakan untuk mengerjakan perintah Tuhannya dengan seni azan!,” papar kau pelan dan berhati-hati.
Sedang Seni hanya diam, ia merasa hidup tidak adil untuknya. Batinnya terus berontak, ia merasa dilakukan semena-mena oleh apa saja yang mengaku-ngaku atas dasar seni. Ia membenci semuanya, termasuk Tuhan. Ia merasa dimanfaatkan oleh semua.
“kau, dengan kata lain apa yang kita lakukan ini juga kamu katakan seni? seni mengadu!,” Seni mengapi-api bersama gaya laut merahnya.
Namun kau hanya diam. Seakan-akan ia mengiyakan pernyataan Seni.
“kau, kukira kau dapat menolong aku. Kukira hubungan kita dapat menjadi abadi. Aku salah menilaimu. Kamu sama saja dengan mereka. Kamu sama dengan kekasihku yang meninggalkan aku setelah puas mendapatkan apa yang dikehendakinya dengan atas dasar seni, ya… seni menghancurkan perasaanku. Seperti kamu, kau!!! Kamu jahat kau, Aku benci semua, aku benci SEMUA!!!”
“Sen, kontrol semua emosimu! Dengar!, sisi minus yang kau keluhkan tadi adalah sisi plus bagi yang mau memahaminya! Sadarilah segala kata-kata yang terdengar manis pada hakikatnya adalah mimpi. Kedamaian, keadilan dan kebahagiaan salah satunya. Bukankah kamu juga berupaya mewujudkannya? Kamu lupa, damai, adil dan bahagia adalah kebohongan belaka, untuk mengatasi kemelut pertahanan agar tetap senantiasa menetap untuk hidup. Adakah yang mampu menggapainya? Tak satupun. Apakah damai, jika di luar sana peperangan menggema? Apakah adil, jika di sekeliling kita masih terdapat gadis peminta-minta yang mengharap pasokan makanan demi menempa hari berikutnya? Apakah bahagia, jika duduk di punggung yang lain sementara yang didudukinya merasakan sakit yang maha. Seni sahabatku!, aku, kamu, mereka yang berada pada kehidupan adalah sama, bertahan bukan demi mimpi-mimpi itu. Tetapi demi luka!,” setelah mengucap luka kau menangis. Apakah baginya bertahan itu berarti menangis?
“Tidak… tidak… tidak kau!, kamu bicara sekenanya saja bukan? Menurutmu, segala seni, termasuk; damai, adil, bahagia merupakan semacam teka-teki yang berkutat di situ-situ juga. Layaknya labirin. Menurutmu, segala perlakuan tentang seni itu wajar? Haruskah semua jalan di lalui nestapa. Segenap derita. Demi luka?,” Seni menggeram, karena saat hanya berkeliling untuk kesia-siaan.

*****
Lagi, aku terus berlari… aku harus menjelaskan pada mereka bahwa aku adalah Seni yang tidak rela melihat perbuatan dengan mengatasnamakan aku, Seni. Aku tidak seperti yang mereka pikirkan, Jangan fitnah diriku lagi… kumohon, Mengertilah!!! Sambil berlari akupun menangis seperti yang dilakukan kau untuk bertahan, aku tak peduli. Sesekali kutengok ke atas, mengapa malam selalu dipenuhi kebungkaman. Tapi tidak dengan bintang yang berhamburan yang tidak bisa dijabarkan dengan hitungan tetapi diukur dengan perkiraan karena tak satupun yang tahu berapa jumlah bintang-bintang itu.



Guntung Payung, 20 Juli 2005 04:25 PM

Rabu, 03 September 2008

cerpen 4

Tuhan, Hudanilah Aku…


KARATAU masih seperti kemarin. Lugu, belum ada tanda-tanda transisi. Ia terhampar di kaki gugusan meratus. Sejuk. Bagiku, ia salah satu surga dunia yang pernah kukenal sejauh ini. Ya, aku bangga telah mengenalnya. Dia jugalah yang menjadi saksi kami, dari datu-datu, kakek, ayah dan aku tentunya. Terlalu indah untuk dilupakan. Ia menyimpan semua ketahuannya akan curahan perasaanku yang kemarin pernah aku keluhkan kepadanya, sesaat menikmati keperawanannya. Akan cinta-cintaku, Winda, Rahmi, Ratna, terlebih-lebih gadis cantik, berkerudung, putih… akh… Yayu namanya. Ketika namanya kusebut, hatiku berdegub apalagi bila aku berpapasan di jalan, di kelas misalnya. Akh… ia selalu mengubar senyum manisnya. Bibirnya. Wajahnya. Aku, aku, aku tidak bisa melupakan itu. Aku sangat mencinta. Oh Yayu.

Kami sama-sama bersekolah di SMAN 1 Barabai. Kedekatan perasaan ini, berawal saat aku dipercayakan memangku jabatan ketua osis di sekolah itu. Dan Yayu, bendaharaku. Biasanya, sebelum tidur, aku senantiasa mentasbihi namanya. “Aku tergila-gila padamu, Yayu sayangku!,” batinku menyeruak, jantungku tidak bisa mentoleransi ketika kusebut namanya. Seperti inilah jatuh cinta?, akut dan bisa membunuh.

“Maaf! Aku tidak bisa, kita berteman saja ya…?,” jawabnya ketika aku mengatakan perasaanku untuk kali ketiga. Karena setahun cukup bagi hatiku menahannya. Dan sebentar lagi pengumuman kelulusan di pamerkan. Aku tidak mau menyia-nyiakannya dengan berdiam diri, menahan egoku. Aku tidak mau kecewa karena terlambat. Ya, aku tak mau itu terjadi. Berkali-kali sudah kuutarakan ketulusan cintaku ini lewat surat, sms atau ungkapan langsung. Tapi, tetap saja ia menolakku. Apakah ketulusan masih kurang?

***

Kisah ini berawal. Ketika aku gagal memenuhi impian orang tuaku. Aku gagal masuk STPDN karena yang lain tidak mengandalkan kepiawaian otak tapi kelihaian melubangi dompet sendiri atau koneksi dengan pejabat di atas, orang pemda, bupati atau berkerabat dekat dengan gubernur. Sehingga rekomendasi menjadi tolak ukur, siapa saja yang berhak memasuki sekolah tersebut.

Kembali aku terluka karena gagal mencumbu mentari. Seperti hatiku, terluka oleh cinta. Masih adakah yayu-yayu yang lain atau cinta-cinta yang lain? Masihkah?

Sebagai gantinya, aku terpaksa kuliah di UNLAM Banjarmasin. Dengan jurusan yang kurang aku suka dan kuasai. Karena bakatku, bukan di situ. Aku mempunyai talenta kepemerintahan, aku pantasnya bukan di sini. Karena aku membawa gen pemimpin, yang kelak membawa bangsa ini pada kesentosaan. Tetapi? Bagaimana mungkin, Indonesia bisa bebas dari kemelaratan kalau rakyatnya demikian? Bagaimana mungkin aparat militer dapat mengamankan negaranya? Atau mungkinkah seorang polisi memberantas korupsi, nepotisme? Sedang untuk masuk pendidikan saja harus mengeluarkan puluhan juta agar diterima! Akh.. mana mungkin bisa? Polisinya saja begitu? Bagaimana mungkin maling menangkap maling, kalau maling teriak maling? Ya beginilah, sketsa wajah bangsaku yang penuh polesan. Kemunafikan. Semakin kaya materi dan pandai, semakin pintarlah orang memintari orang. Ke mana nantinya negara ini? Generasinya lahir dari orang tua yang juga bobrok. Mungkinkah generasi bobrok dapat menggebrak dunia? Mustahilkan? Buktinya, tingkat pendidikan Indonesia kian tahun kian merosot! Nah, terbuktikan? Generasi bobrok!! Seperi kamu, pejabat tengik yang kini sedang duduk keenakan di bahu orang kecil. Atau kamu, pengusaha batubara yang terus-terusan mengeruk amanah Tuhan, dan mengumpulkannya untuk pembangunan rumah-rumah mewahmu. Kasihani, anak-isterimu yang memakan hasil ulahmu. Bukankah, jika kau menanam kebaikan, kelak akan menuai kebaikan pula? Lalu….? Yang jelas aku tidak mau ikut-ikutan. Aku tahu, aku bukan orang baik tetapi aku akan lebih baik setidaknya tidak seperti mereka. Menyalahgunakan kepercayaan rakyat untuk kepentingan sendiri. Seperti mereka, tikus-tikus, anggota DPR-DPRD yang asyik berdiskusi, bagaimana caranya menggaet proyek yang nantinya berpulang untuk tambahan saham di kantong sendiri. Atau bagaimana upaya agar pada pemilu tahun berikutnya bisa mempertahankan kursi yang di dudukinya sekarang. Sekali lagi, itulah sketsa wajah bangsaku yang penuh polesan. Serigala berbulu domba. Oh tidak, kadal bermuka kera.

Sedang aku dan rakyat-rakyat lain hanya bisa mengisap jempol melihat aksi mereka. Mau mengadu? Pada siapa? Mereka berkomplot, menguasai pertiwi ini. Karena sama-sama tikus. Sama-sama bekicot. Padahal kami tahu bahwa bekicot itu menjijikkan, tapi apakah bekicot-bekicot itu tahu dirinya menjijikkan? Kalau ia juga berteman dengan bekicot?

Aku meluka karena semua ini. Aku meluka karena nasib, juga karena cinta.

Masih adakah cinta lain yang juga suci? Melebihi ketulusan cinta-cintaku sebelumnya.

Cinta… cintailah aku, cinta!

Sayang… sayangilah aku, sayang!

Kasih… kasihilah aku, kasih!

Peluk… pelukilah aku yang mendambamu!

***

“Ass. Maaf mengganggu. Kenapa sih kamu selalu memusuhiku? Apa salahku sama kamu? Aku hanya orang kampung yang datang ke kota besar seperti ini untuk bersekolah”, kukirim sms itu ke nomor 081349532305. Nomor itu kudapat dari kawanku Riza yang kini menempuh pendidikan di STIS, Jakarta. Mulanya, ia mengundangku untuk mengenalnya. Sewaktu, aku kebingungan mencari ruang perkuliahan seminggu yang lalu. Kami berpapasan di jalan, dan tiba-tiba saja ia menegurku.

“Namamu Aurakan? Aku teman sekelasmu, kita sekarang ada mata kuliah agama dan bertempat di aula dua?,” sapanya sambil memperkenalkan namanya. Lalu kuikuti saja langkahnya. Karena aku buta sama sekali dengan lingkungan baru ini.

“Perempuan aneh!”, hatiku berbisik. Sungguh dia perempuan agresif. Aku tidak pernah menemui manusia seperti dia. Dan mata itu, mata yang ada dibalik kacamata itu, mata yang….

“Wss. Drmn km th no.q? Lalu apa urusanmu dgnq? Jgn ganggu aq!,” dasar wanita aneh gumamku. Aku dibuatnya bingung. Apa salahku sehingga ia begitu? Ia begitu ketus. Kasar. Tidak lembut sedikitpun padahalkan dia seorang wanita. Guratan keibuanpun tak tampak dari kesehariannya. Berkali-kali aku mengirim sms dengan niatan baik. Untuk berkawan. Tetapi yang kuterima hanya makian, umpatan-umpatan kasar, seperti brengsek. Ada apa dengan dirimu? Wahai wanita aneh….

Jujur saja, aku tidak pernah mendapat perlakuan demikian sebelumnya. Apalagi dari seorang wanita. Tidak sekalipun. “Oh, Tuhan! Ampuni hambaMu. Hudanilah langkahku supaya tidak mengecewakan orang-orang terdekat, seperti ibu-bapak. Bimbinglah, hudanilah aku!,” pintaku padaNya ketika menutup rutinitas wajib setelah seharian penuh diujiNya. Dengan begini, perasaanku kembali tenang. Meskipun wanita itu terus memusuhiku. Tak ada sebab yang jelas, kudapat dari alasannya. Hanya segenap amarah yang ia tumpahkan di setiap sms kirimannya. Padahal kan… aku….

***

Anehnya lagi setiap sms yang kukirimkan untuknya selalu di balasnya. Puluhan kali bahkan. Padahal kan, katanya ia tidak suka dan mengganggapku musuh, tapi kenapa selalu di balas? Dasar wanita aneh.

“Ass. Kamu lagi ngapain?,” tanyaku lewat sms yang baru saja terkirim.

Status of +6281349532305 delivered. 20.05 WITA 24 September 2004.

“Wss. Aq lg mkn. Sebentar lagi slesai, lalu mo k kafe mamanda. Knp sih nanya-nanya? Kurang kerjaan!,” begitulah isi balasannya. Sama seperti yang kulakukan. Makan. Sekarang aku bersama teman sekamarku, menyantap hidangan di sekitar cendana. Maklum, anak kost, menginginkan yang serba praktis. Instant kalau bisa. Dan ini adalah juga yang kali pertama aku lakukan. Keluar malam. Sedari kecil, di Karatau sana. Meskipun aku seorang laki-laki, tapi tak sekalipun aku menghabiskan waktu di luar. Sehabis maghrib, aku mengaji, makan malam, lalu belajar. Tidak sekalipun aku keluar.

Dinginnya udara malam Banjarmasin, tidak sebanding dengan hawa pegunungan, tempatku dibesarkan. Baginikah Banjarmasin dalam warna malam?, bising. Berbeda jauh dengan kondisi di kampungku sana. Jam begini, penduduknya tak ada lagi yang berkeliaran. Sekalipun ada, itupun karena pengajian atau kenduri seperti mahaul.

“Nasi sama teh es, berapa Cil?,” tanyaku, sambil mengeluarkan selembar uang lima ribuan.

“Tiga setengah,” jawabnya dengan menyerahkan selembar ribuan dan lima ratusan.

“Tukar Cil lah?”

Di jalan, aku selalu kepikiran. Akan wanita itu. Setiap kendaraan atau apa saja yang kulihat selalu saja wajah wanita itu membayangi.

KAFE MAMANDA. Itukan?

“Assalamu’alaikum. Kamu ada di mana sekarang?”

“Aku lagi duduk-duduk di kafe!”

“Ini aku ada di depan kafe?”

“Aku tahu, kamu pakai baju hijaukan?, mundur lima langkah dari kamu berdiri sekarang?”

“Kamu melihatku?”

“Ya donk! Ayo mundur!”

“Aku…!,” pangling,dalam kebingungan.

“Ya gitu, selangkah lagi. Nah, udah liat aku kan?”

“Iiiiyaa..,” jawabku seraya menutup telepon genggamku.

“Hai!,” sapanya.

Aku hanya senyum, tipis.

“Duduk yuk? Sambil ngobrol-ngobrol gimana?,” ajaknya.

Aku tertegun, tidak biasanya ia seramah ini. Aku begitu terkesima.

“Mau minum apa? Kopi atau teh?, Jangan sungkan”

“Terima kasih, aku baru aja selesai makan?”

Nih!, cobain kacang rebus. Enak lho?,”tawarnya.

“Iya!,” jawabku singkat.

……….

***

“Tuhan hudanilah aku, hudanilah dalam memilih. Jalan mana yang Kau ridhai,” ucapku setelah kejadian kemarin. Bersama si wanita aneh. Wanita ketus, kasar, selalu memusuhiku, yang sesekali baik, sesekali ramah, sesekali…

Wanita itu…??

“Aku harus berani! Ya, harus. Apapun hasilnya,” perintahku pada tubuhku yang semakin gemetaran.

“Terima kasih ya… bukunya?,” seraya menyerahkan ke tangan wanita aneh itu. wanita yang…

“Awas kalau lecek!” jawabnya, lagi dalam nada ketus. Khasnya., sambil membolak-balik. Memeriksa kalau-kalau ada kecacatan.

Sebentar.

Ada yang lain dari wanita aneh itu, sehabis memeriksa bukunya. Ia tersenyum. Untuk yang pertama. Manis. Manis sekali. Senyum yang sudah lama kudamba. Memikat. Dan matanya. Matanya memancarkan rona lain. Dia tersenyum dan tertunduk. “Aku juga,” jawabnya sambil menenggelamkan wajah yang kian memerah. ***

Sabtu, 23 Agustus 2008

cerpen 3

Ketika Penisnya Tertancap di Vaginaku
By: Hudan Nur

Au…
Akh…
ORGASME


ZENA, kamu belum mengerti arti kehidupan pun cinta, begitu kata ibunya menasihati sebelum ia berangkat keluar rumah. Ibunya tahu betul bahwa anaknya begitu banyak memiliki teman lelaki, mereka berganti-ganti. Lain hari lain lagi lelaki yang diajak main ke rumah. Tentunya di saat ibunya sedang tidak ada di rumah.
“Zena, jangan terlalu sering berganti-ganti pasangan. Nanti kamu malah kewalahan. Pilih satu saja, kamu perempuan dilarang poliandri!” Begitu nasihat ibunya ketika usianya dua puluh tahun. Zena tidak terlalu memedulikannya. Ibunya setiap hari pulang larut malam, subuh malah. Dan paginya sering terdengar dengkuran. Dengkuran yang berbeda-beda saban hari.
Ayah Zena pergi meninggalkan mereka setelah mendapatkan wanita pengganti ibunya. Ia pergi entah ke mana? Waktu itu usia Zena tujuh tahun, Zena masih belum mengerti masalah orang dewasa. Sampai sekarang, masih belum ada kabar dari kepergian ayahnya. Entah masih hidup atau tidak. Zena juga tidak terlalu memedulikannya. Baginya, itu bukanlah hal yang penting, sama seperti lelaki-lelaki yang dipergokinya sedang tidur tanpa busana di kamar ibunya. Atau aroma bir yang tersebar saat ibunya pulang ke rumah.
Dulu sekali ibunya pernah bilang bahwa hidup seseorang itu masing-masing. Setiap orang memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri, juga pada dirinya. Toh semuanya yang empu jua yang menjalaninya. Jangan sekali-sekali kamu mencampuri urusan orang lain, kita memiliki hidup yang berbeda-beda. Jadi urusi dirimu sendiri saja.
***
Hampir sebulan ini, ibunya nampak jarang pulang ke rumah. Sekali pun datang, hanya sebentar, satu-dua hari. Lalu pergi lagi, entah kemana? Zena tidak merisaukannya, bukankah itu urusan ibu? Lama-lama Zena merasakan sepi. Sendiri di rumah yang walaupun kecil, tetaplah sunyi. Dia tidak betah kalau harus menyendiri.
Saat-saat seperti ini hanya Leyho saja yang diingininya. Dibandingkan Yhandie, Adhit, Ryan, Dhanie atau yang lainnya. Mereka hanya menggerayangi saja, mulai dari payudara hingga kemaluannya. Atau menindihi tubuhnya. Berdekapan tanpa busana sambil mengunyah bibir sampai lumat. Tidak ada yang lain. Bagi mereka, Zena hanya pemuas birahinya saja. Tapi, tak apalah. Kalau itu mau mereka. Zena selalu dengan senang hati meladeninya. Dia tidak pernah mempersoalkannya. Itu bukan hal besar.
Zena tahu betul mereka masih amatiran dalam hal bersenggama, tidak seperti Leyho. Ia mengawalinya dengan pemanasan. Menciumi atau menjilati seluruh tubuhnya, khususnya vagina. Ia melumat dan mengisap klitoris Zena. Sampai Zena mengerang, menanti untuk cepat ditindihi. Lebih cepat lebih orgasme. Zena keenakan. Akh… lagi… lagi… terus… orgasme.
Memang sulit membangkitkan orgasme wanita. Wanita seperti air harus dididihkan terlebih dahulu untuk panas dan matang. Sedang lelaki tidak, lelaki seperti api yang hanya cukup disulut sedikit minyak akan terbakar. Kepanasan.
***
Suatu hari, Zena kehilangan orgasmenya bersama kepergian Leyho yang lenyap, terkubur dari informasi berita. Leyho menghilang seperti ayahnya. Zena sudah mencarinya kesana-kemari, namun tak ada yang tahu. Dalam diri Zena hanya Leyholah satu-satunya yang mampu membuat dirinya berorgasme.
Zena sudah tidak orgasme lagi ketika disuguhi makanan. Ia sudah lupa bagaimana nikmatnya orgasme ketika makanan masuk melewati mulutnya. Begitupun ketika air meluncur di kerongkongannya.
Seiring kepergian Leyho, orgasmenya. Zena memutuskan untuk pergi dari rumah. Di rumah tak ada orgasme yang didapatnya. Sedang Zena tak tahan kalau harus hidup tanpa orgasme. Ia begitu menggila tanpa kehadiran orgasme. Ia iri pada ibunya yang bisa tertawa karena orgasme. Ia iri ketika mendengar desahan ibunya yang sedikit tertahan. Bersama lelaki manapun, ibu mampu orgasme. Tetapi tidak untuk diri Zena.
Bahkan ibunya masih sempat mendesah, ketika Zena mengutarakan niatnya untuk hidup mandiri. Belajar menata waktu sendiri. Tanpa disadari airmata Zena menetes, menjelang kepergian dirinya ibunya masih mengacuhkannya. Mungkin bagi beliau itu bukanlah urusannya. Pun ketika ia keluar dari rumah. Ibunya tetap berada di kamar. Entah apa yang dilakukannya. Tak ada jawaban darinya. Lalu dihapusnya airmatanya bersama langkahan kakinya meninggalkan rumah, mengejar orgasme.
***
Hidupnya makin memudar bersama orgasme yang tidak dirasakannya lagi. Tidak ada lagi orgasme makan, orgasme minum, orgasme tidur, orgasme senggama terlebih-lebih orgasme hidup. Setiap jalan-jalan yang dilalui Zena, setiap itu pula non-orgasme dijumpainya. Ia lelah. Ia tak tahu apakah masih bisa bertahan? Tanpa orgasme.
Seperti malam ini, ia masih ragu dapat melaluinya? Hasrat orgasme masih menggebu. Sementara kakinya terus melangkahi trotoar yang entah sampai mana ujungnya? Zena tetap tak peduli. Ditatapnya langit, bintang berhamburan di sana-sini. “Apakah bintang juga mengingini orgasme?,” tanya Zena dalam hati. Zena ingin berkata ketika sebuah bintang jatuh dihadapannya namun mulutnya membungkam. Mulutnya juga kehilangan orgasme. Hingga hanya bisa membisu.
Zena tidak bisa lagi menikmati apa-apa, manisnya gula, asinnya garam, perihnya luka, pulasnya tidur, gara-gara orgasme. Yang Zena impikan dari konaknya hanya menata diri, mencari Leyho. Meraih orgasme.
***
Sehari sudah Zena berjalan, kakinya mulai merasa sedikit pegal. Mungkin hanya kakinya saja yang masih memiliki orgasme capai. Maka berhentilah ia di sebuah kedai, sekadar beristirahat. Ketika seorang pelayan kedai tersebut bertanya, pesanan apa yang diingininya, Zena hanya diam,. Matanya mulai berkeliaran, dan terhenti pada satu tayangan berita televisi.
Koresponden lima-enam melaporkan bahwa telah ditemukan sesosok mayat berinisialkan L dengan tujuh bacokan di kaki, tangan dan lehernya.
Berdasarkan hasil otopsi L adalah korban penganiayaan brutal yang dilakukan pelaku. Setelah dua jam kabur, polisi berhasil membekukknya dan langsung membawanya ke kantor polisi untuk diinterogasi. Diduga kuat, pelaku menaruh dendam karena kekasihnya yang inisialnya Z direbut L setelah L menidurinya.
Pelaku menjelaskan bahwa dirinya tidak rela karena kekasihnya selalu memuji-muji L. Terlebih ketika pelaku orgasme dengan Z. Z selalu mengatakan ketidakpuasannya bercinta bersama pelaku. Z mendambakan orgasme seperti yang pernah dilakukannya bersama L.
Ketika L hendak bertandang ke rumah Z, di situlah pelaku menghabisi nyawanya. Pelaku berpura-pura meminta pertolongan korban. Pada saat korban lengah, pelaku langsung menghantamkan bacokan-bacokannya. Setelah yakin korban tewas, pelaku melarikan diri.
Demikian tiga-empat.
Terima kasih lima-enam. Baiklah para pemirsa, kami akan segera kembali selepas info komersial berikut ini, tetaplah bersama kami.
***
“Maaf, mau pesan apa ya mbak?”
Zena tidak menghiraukan pertanyaan pelayan tersebut, telinganya tidak orgasme. Lalu tanpa kata Zena pergi meninggalkan kedai itu. Zena tahu cuma kakinya sajalah yang memiliki hasrat orgasme. Ia hanya mengikuti kakinya melangkah.
Otaknya tidak tahu kemana kakinya membawa dirinya. Terus melangkah.
Kakinya membawa dirinya ke sebuah rumah sakit. Sementara otaknya masih tidak mengerti mengapa kaki membawa dirinya ke sebuah rumah sakit. Apa yang sebenarnya di cari kaki di sini.
Kaki terus berjalan, hidung Zena sudah mulai mencium obat-obatan. Matanya sudah mulai mencari-cari. Pikirannya sudah mulai menerka. Tubuhnya sudah mulai bergelora. Bibirnya sudah bisa menganga, sesekali giginya menggigiti bibirnya. Tangannya sudah mulai mengepal.
Kaki terus saja berjalan, bolak-balik. Namun otak sudah mulai mengerti dan mulai bekerjasama dengan kaki mencari, begitupun mata. Begitupun mulut, tak mau diam. Ia bertanya pada seorang resepsionis untuk memperoleh sebuah jawaban. Jawaban yang akan membuat seluruh anggota tubuhnya bergetar. Perutnya pun tak mau kalah, telinga mendengar bahwa perut sudah mulai berdendang karena lapar. Sudah lama ia tidak merasakan lapar. Lalu kaki menggiringnya ke dapur.
Setelah itu, kaki Zena kembali berjalan dan berhenti di sebuah ruangan. Zena memasuki ruangan itu dengan pelan dan berhati-hati. Ruangan itu begitu senyap yang terlihat hanya lemari-lemari yang tertanam di dinding. Satu-satu lemari dibukanya. Hidung mulai merasakan aroma yang begitu memuakkan. Bagi hidung ia lebih senang mencium aroma bir dari mulut ibunya ketimbang aroma busuk seperti ini. Meskipun diberi pendingin hingga menyerupai es, hidung tidak dapat berbohong bahwa masih tercium aroma tidak sedap.
Kembali tangan Zena membuka lemari-lemari itu, untungnya lemari-lemari itu tidak terkunci seperti pintu ruangan ini. Sudah lima lemari yang dibukanya, tetapi yang diingininya tidaklah ketemu.
Dibukanya lagi lemari lain, Zena sumringah ketika melihat isi lemari itu, sesosok yang sangat dikenalinya. Mulutnya sudah menebar senyum. Tangannya asyik meraba dan beraksi. Zena histeris. Berteriak sejadi-jadinya.
Hingga salah seorang perawat yang melewati kamar itu tidak sengaja mendengarnya. Perawat itu penasaran lalu dibukanya pintu.
Perawat itu menganga, takjub melihat tingkah Zena. Hingga tak sadarkan diri.
Setelah Zena sadar bahwa aksinya berlebihan, mengundang perhatian dan membuat seorang perawat pingasan. Zena keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan rumah sakit tersebut, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tak ada yang curiga padanya. Tak ada yang curiga bahwa di dalam kantong bajunya tersimpan sebatang penis …***


Guntung Payung, 1 Agustus 2005 05.55 PM
Inspired by cerpen WONG ASU…
karya Djenar Maesa Ayu

cerpen 2

Menjemur rindu di tiang asmara

(Diary cinta__ Ilalang Musim Kemarau di19 tahun hidupnya)
Oleh: HUdan Nur



AKU ILALANG

Aku ilalang
Terhampar disunyi padang
Yang tak kuasa meraih mimpi
Karena asa yang dimangsa waktu

Aku ilalang
Yang tercampak di padang gersang
Kerap kerayu bunga-bunga jalang
Kucoba menggeleng
Tapi aku hanya ilalang

(Mr/ Mrs/Miss NN, Forgot Banjarmasin Post)



ILALANG menggeleng, diterpa angin. Kerap hanya tiupan tersapa adanya. Ya, itulah adanya. Jendela penghubung antara intuisi dan pembicaraan yang terbelenggu dari hati ke hati. Hanya gelengan ucapku. Tak lain. Hanya hembusan yang memulainya dan memahami jawabanku. Tak lain. Hanya sentuhan nafas yang mampu mengartikan gelengan-gelenganku. Tak lain.
13 Maret besok usiaku sembilan belas tahun. Lumayan. Apa yang mesti dibenahi? Apakah aku harus mengubah segalanya? Penampilanku? Rambutku? Wajahku? Tubuhku? Semua apa-apa hidupku?, aku akan buat sensasi. Bahwa aku benar-benar berubah, bukan ilalang yang dulu pernah dikenal. Tapi ilalang baru, ilalang yang dibuat ilalang sendiri. Ilalang yang lain, lain, selain-lainnya. Penuh kelainan.
Besok aku ke salon, memangkas semua rambut sampai botak. Lalu mempermak wajah dengan minyak bulus yang sudah dicampurkan lidah buaya yang konon katanya bisa membantu pembuatan sel melanin menjadi violet. Aha! Lalu aku akan meminum ramuan biji cabai rawit ditambah daun pepaya serta seperempat gram margarin. Guna menambahi dua puluh centi tinggiku, begitu kata buku primbon tradisional yang kupinjam senin kemarin di perpustakaan.
Tapi… ada satu hal yang tidak bisa berubah. Aku masih bertahan disatu hati. Seperti malam yang selalu setia bersama kegelapan atau matahari yang senantiasa memancarkan kehangantan atau hujan yang selalu setia menyeringai bumi bersama tangisannya. Bulan yang tetap setia bersama kecantikannya. Takkan pernah berpendar, setia hingga hayat. Takkan memudar atau lapuk di telan usia. Aku masih menaruh harapan, meski kini …
Aku masih setia disatu hati. Aku tak mampu berpaling. Darimu Hezkivasta. Meski…

***
Aku sudah berubah, berubah menjadi gadis yang baru. Sesiapapun tentu pangling menatapku. Aku kini lain. Tidak seperti kemarin. Penampilanku sudah mengubah pandangan orang-orang terhadapku. Dahulu, mereka sering menghinai aku, karena aku hanya ilalang biasa. Ilalang musim kemarau, yang bisanya cuma bergoyang disapa angin. Sedang mereka ilalang langka keturunan oryza sativa yang jika disapa angin tidak bergoyang kecuali disapa cinta. Karena mereka punya cinta dan cintanya juga cinta kepada ilalang yang dicintainya. Sedang aku, jangankan disapa cinta merasai cinta saja sulit. Nampaknya cinta tidak hadir untukku.
Seiring perubahan ini, berdecak pula kekagumanku yang sekarang dipenuhi obsesi. Aku tidak tahu, apakah dengan begini ia akan memandangku? Setidaknya, mengerti bahwa masih ada aku di lain sisi yang senantiasa menzikiri namanya. Mudah-mudahan.
Namun, aku tidak tahu persis, bagaimana pandangan mereka terhadapku? Miring atau? Aku tidak berani memprediksinya. Aku juga tidak pernah mengerti kenapa penampilan begitu berarti? Begitu penting dalam penilaian? Bukankah seseorang itu tidak dapat diketahui dari luarnya saja? Sebegiitu pentingkah penampilan di mata mereka? Apakah Hezkivasta pun demikian? Mementingkan penampilan di atas segala-galanya?

***
Angin berhembus. Aku pun turut bergeleng. Menggeleng untuk tidak bergoyang. Tapi, aku hanya ilalang yang tak tersentuh cinta. Ilalang malang, yang tergolek lemas dikekurangan. Tak tercumbui cinta.
Apakah ini suratan bagi diriku, ilalang musim kemarau. Beginikah kelayakan yang pantas aku terima selama sekian lama menanti. Sebuah penantian sejati. Penantian setiaku seperti kemarin. Apakah begini suratan yang tergaris kehadirat hidupku. Sepanjang sejarah kehidupanku.
Demikian aku lalui dengan meluka. Setidaknya bersama luka aku dapat membuktikan bahwa aku senantiasa menyetia ikrarku. Bertahan di satu hati.
Demikian aku temui setelah hati bergetar. Setidaknya getaran yang mempertahankan keberadaanku untuk bertahan. Bertahan untuk hidup.
Demikian aku rasakan sesak, setelah aku dilanda rindu. Rindu yang berbuncah pada sebuah pertemuan. Dalam diam. Setidaknya bersama rindu aku dapat meniti dan menyusun mimpi-mimpi pertahanan. Pertahanan untuk tetap berangan.
Demikian aku memilu bersama pengirian aku bertahun-tahun. Aku iri pada cinta-cinta yang diperoleh ilalang-ialalang lain. Setidaknya mengiri dapat mengobati luka bahwa aku pun masih mempunyai hasrat untuk menjerat asmara. Tetapi, kenapa aku hanya mendapati luka, hingga aku meluka. Apakah dengan meluka aku disandingkan? Apakah aku tidak pantas memeluk cinta? Cinta tidak ditakdirkan untukkukah? Aku begitu menggelora, menunggu kedatangan cinta.
Demikian pedihkah menjaga sebuah hati agar tidak musnah? Aku sudah benar-benar memedih menunggumu cinta. Apakah meluka dulu sebelum bercinta denganmu cinta?
Demikian aku mengeluh, merintih karena cinta hanya berlalu dihadapanku.
Demikian aku.
Demikian.
***
“Kapan?”
“Kemarin!”
“Yang benar?”
“Suer dech!”
“Sok pasti romantis abis?”
“So yes gitu loh!”
“Idih”
“Keren banget, emang pasangan serasi mereka itu?, aku aja ngiri?”
“Ya sich, Hezkivasta ama Makalah emang pas! Nggak kayak si Ree culun abis!”
“Iya ya, pacarmu itu culun sama ama selingkuhanku Daoram. Aku ikut-ikutan ngiri nich. Aku juga mau ngegaet lelaki kayak Hezkivasta!”
“………”
Tidak.
Hezkivastaku.
***

Irama musikku tidak merdu lagi didengar. Namun itulah irama hidupku. Senandungnya tampak riuh bercampur gaduh, gulana.
Apakah perubahan yang kuhaturkan, tidak menuai hasil? Padahal mereka begitu memandangku, lalu kenapa Hezkivasta tidak, justru melangkah lebih jauh? Meninggalkanku. Apakah kekuranganku? Apakah penampilanku masih kurang hingga dia tidak memandang perubahan ini semua?
Aku terus melukakah?
Memang kuakui sungguh dalam kehadiranmu. Aku tak mampu menahan cemburu. Aku tak mampu menahan pilu. Aku tak mampu menahan sembilu. Aku tak mampu, Hezki…
Pedihku masih terasa karena hanya meluka aku hidup. Tidak untuk kasih. Sedang aku sangat mengingini kasih. “Semoga aku bisa menikmati saat-saat ini, bukankah hidup itu indah?” tanyaku saat angin berhembus.
Aku tidak dapat menengadahkan langit untuk turut memohon. Agar hidupku dapat dikirimi cinta. Tapi sampai saat ini aku tidak dapat menundukkan langit. Begitu sulit bagiku. Jangankan menundukkan, menatap langit saja aku susah, kecuali angin mengantarkanku menghadapnya.
Dalam gelap malam aku termenung. Kali ini tidak untukmu, Hezki. Melainkan untuk pengorbanan kesetiaanku yang berakhir di lelambaian angan-angan. Mimpi perwujudan. Penuh harapan. Aku tak mau menjemput kesia-siaan. Aku ingin memeluk cintaku. Sembilan belas tahun bukan hitungan sedikit. Berlama sudah aku menautkan hatiku. Apakah aku sedemikian hingga cinta tak mau memelukku?
Dalam gelap malam aku terus berzikir. Biasanya dalam gelap seperti ini aku habiskan bersama gadang yang tiada berujung sampai fajar menyingsing. Tapi tidak untuk kali ini. Aku betul-betul kecewa. Biarlah sudah, aku sudah kehabisan cara untuk menggapai cintaku. Segenap perubahan fisikku telah kurelakan. Aku kehilangan rambut yang berjuntai lurus karena kupangkas. Aku ubah semua apa-apa hidupku, sementara aku terus menuai luka. Kepedihan. Inilah suratanku, suratan buat hidup ilalang musim kemarau.

***
Untuk pertama kalinya, aku tidur di kegelapan. Melupakan luapan emosi cintaku. Keinginan untuk memiliki. Bertemu cinta pada sebuah pelukan. Setelah bangun aku juga tetap tidak bisa melupakan cinta. Hezki.
Pagi ini aku mencuci, mencuci semua perasaanku. Tapi tidak untukmu lagi, Hezki. Melainkan untuk siapa saja yang memandangku, guna mengemis kasih. Aku tidak mau lagi mengemis simpati dari cinta yang tak tahu arti pengorbanan. Cinta yang demikian tidaklah purna. Cinta yang hidup di atas kepedihan orang lain tidak akan menyapa kebahagian. Itu pasti. Karena cinta tumbuh tidak untuk melukai.
Pagi ini aku cuci perasaanku, kucuci rinduku. Rindu memeluk cinta dengan airmata pengorbanan lalu kusabuni bersama detergen kesetiaan. Kubilas bersama airmata kasih, penantian yang dulu aku semai. Hanya begini adaku, supaya bisa melupakan kegagalanku sebelumnya. Tapi…
Aku sungguh sulit melakukannya. Aku sulit berpaling dari satu hati itu. Hati yang bertahun-tahun aku pupuk. Aku tidak kuat jika harus melupakan kesetiaanku itu. Bersama malam yang juga setia dikegelapan. Aku tak tahu.
Lalu rindu-rinduku itu kujemur. Kubentangkan seutas tali sepanjang dua meter tepat di hadapan aku tinggal. Kutenggerkan tali itu di tiang asmara. Aku jejerkan satu-satu rinduku di tali itu. Semoga rindu-rindu itu bisa kering di tiang asmara. Tidak lagi basah setelah tadi aku sirami bersama airmata pengorbanan.
***
“Kapan?”
“Kemarin”
“Yang benar?”
“Suerr dech!”
“Sok pasti sakit abis?”
“Sok yes gitu loh!”
“Idih”
“Sakit banget, emang pasangan yang kurang serasi mereka itu?, aku kasian dech!”
“Ya sich, Hezkivasta ama Makalah emang nggak cocok! Nggak kayak si Ree setia abis!”
“Iya ya, tragis betul kisah mereka. Kasian Hezkivasta dikhianati Makalah. Padahal ia begitu setia!”
“Kira-kira siapa ya?, Yang mengganti kedudukan Makalah? Siapa yang betul-betul setia pada Hezkivasta?”***


Guntung Payung, 29 Juli 2005 07:40 PM

cerpen 1

Sofia, Perpisahan Itu
Mengandung Dua Arti
(Hudan Nur)


DULU sekali sebelum kamu pergi. Meninggalkan kota kecil ini, aku sering mengirimimu puisi-puisi, setiap hari malah. Aku juga sering membaca puisi-puisi itu disabtu sore sambil menunggu waktu malam yang tidak kalah indahnya. Apapun cuacanya di malam minggu tetaplah mengasyikkan bagi kita. Kita ke warnet bersama. Makan kacang rebus di taman air mancur. Atau kamu menonton aktingku di taman van der vijl. Kamu juga sering memarahi aku tanpa sebab yang pasti. Kamu keluarkan umpatan-umpatan yang tidak berasalan kehadapanku. Tapi aku hanya diam, aku tidak kuasa membalas umpatan-umpatan itu. Karena satu dan lain hal.
Dihari minggunya, kita latihan teater bersama pula. Aku selalu bilang bahwa aktingmu bagus, jika kamu minta penilainku. Aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu senang, aku tidak mau ada kata-kata yang keluar dari mulutku menyakiti perasaanmu. Kamu perempuan Sofia, tentunya pula sensitif. Aku tidak mau kamu tersinggung. Bukankah berbohong demi kebaikan itu dianjurkan? Kadang, sorenya aku mengantarkanmu berkunjung ke rumah pamanmu. Lantas aku memboncengmu bersama kendaraan yang kupinjam dari tetangga sebelah rumahku. Aku sering ngerem mendadak. Dan kamu memukul pundakku, kamu bilang kamu nggak suka. Tapi aku suka, kapan lagi ada kesempatan berdekapan tanpa sengaja seperti ini, pikirku.
Senin, selasa, rabu hingga sabtu kita ke sekolah bersama. Kita diajar oleh guru-guru yang sama. Kita melewati waktu istirahat bersama. Lalu pulang bersama. Kita tak pernah bosan dalam kebersamaan itu, meskipun kadang-kadang kita tidak akur.
Waktu tiga tahun dibangku SMA terasa sangat singkat, Sofia. Tiga tahun bersamamu terasa pendek, dibandingkan waktu pelajaran yang dijalani walau cuma empat puluh lima menit di setiap mata pelajaran. Aku merasa jenuh jika harus memperhatikan penjelasan dari guru. Aku lebih suka, merangkai kata demi kata lalu kukirimkan kepadamu. Pernah suatu kali, aku ketahuan oleh guru, aku kena skors. Ia juga menyuruhku membacakan apa yang sudah aku tulis di podium, tempat pembina upacara memberi amanahnya. Dapat terbayangkan, bagaimana reaksi adik dan kakak kelas. Mereka me-huhui aku. Seharusnya aku malu, tapi karena aku peteater aku tidak sedikitpun merasakan malu. Justru aku bangga. Malah aku bermonolog di atasnya.
Kamu tidak tahu betapa gelisahnya aku jika mataku mulai disirep kantuk. Aku takut jika harus memejamkan mataku. Aku takut kalau-kalau di dalam mimpiku tidak ada dirimu, atau melihatmu bersama lelaki lain. Aku begitu takut. Segeralah aku meminum obat penolak kantuk dan kembali merangkai kata ke dalam puisi. Yang akan kukirimkan kepadamu jika pagi menjelma. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan membuat puisi ketimbang belajar atau mengerjakan pe-er.
***
24 Juli 2005
Kukirimkan sebuah catatan harianku yang isinya tentang aku selama dua tahun terakhir. Selepas perpisahan itu. Bunyinya seperti ini;
Aku sudah susah membuktikan betapa ternilainya senandung sempana jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.
Aku tahu tapi kejanggalan akan cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan bayangan, aku hanya melihat sinar yang lelambaiannya tak nampak. Pekat pula. Sementara aku baru mempersiapkan diri untuk juga ikut pada peperangan yang salah satu pemrakasa serta pengrobohnya, aku.
Sementara aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan menuding sebagai insan yang naïf. Aku betul-betul aku. Hingga aku kehilangan bentuk, remuk di situ juga. Redamnya utopia di mukaku adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan senandung jiwa di bab terakhir.
Sungguh aku malu. Maka dengan ini semua aku akan buktikan, aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu memilukan, sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah memaksakan ribuan hasrat untuk menikam dan ke langkah itu lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu saat akan ada balasan dari seluruh torehan yang dieja pada sempana-sempana melodi dari jiwa yang tak berkeseduhan.

Yang menyetiaimu,
***
Sudah ribuan puisi aku pintal, Sofia. Kalau dibuat antologi sudah puluhan. Hitunganku. Semuanya aku tulis, atas dasar ketidakpahaman jiwaku. Meski aku katakan, tidak, tapi aku tak kuasa. Aku tak mengerti, mengapa semua cita harus berujung pada pengorbanan. Kalau aku berpikir lebih jauh, itulah alasanku bertahan.
Aku tahu kita berbeda Sofia. Aku orang kebanyakan. Sedang kamu? Apapun mampu kau beli. Diriku pun kalau kau mau? Tapi, sesiapapun tahu bahwa perasaan tidak mengenal itu. Aku tulus, Sofia.
***
15 Agustus 2005
Aku di sini sedang mengalami musim liburan. Aku berencana untuk pulang. Tunggu aku ya. Oh… ya! Aku ingin memperkenalkan kamu dengan seseorang. Aku kangen pada situasi di sana. Aku ingin membawanya berkeliling di daerah kita. Aku dan dia sekarang sedang menikmati musim semi. Aku ingin memperpanjang musim semi ini di sana.
***
17 Agustus 2005
Aku tidak merasa merdeka. Aku tidak memiliki kebebasan untuk menautkan hati. Lalu kutuliskan balasan suratnya;
Benarkah Sofia?, aku akan menunggumu. Ini kegembiraanku yang menyeluruh. Cepatlah kembali Sofia…………
Yang menyetiaimu,
Aku pura-pura turut berbahagia. Melalui suratmu yang kubaca berkali-kali itu, aku sebenarnya menagis. Tapi aku bisa apa. Asalkan aku bisa melihat kamu tersenyuma aku rela melakukan apa saja. Sekali pun mengorbankan perasaanku. Bahkan kalau kamu menginginkan nyawaku maka aku akan menyerahkannya.
***
Lima hari aku menunggu kepulanganmu. Selama itu pula aku sibuk memintal kata menjadi rajutan puisi yang akan aku berikan setibanya kau dihadapanku. Aku menyibukkan diri memilah kata mana yang pas untuk seorang kamu. Sofia.
Dalam waktu itu, aku terdiam. Melamun. Aku terkenang masa-masa itu lagi. Di SMA. Aku mengulang kaset kenangan yang isinya tentang semua tingkahmu. Apa-apamu. Aku mencoba mengingat akan dirimu, khususnya wajahmu. Aku paling suka dagumu, terbelah dua. Seperti laba-laba kembar menggantung. Belum lagi alismu, yang seperti semut berjejer. Kamu begitu indah.
Sebagai peteater, aku juga memiliki paras yang bisa dikatakan… boleh juga. Namun aku tidak terpengaruh akan kenyataan itu, karena kamu sering bilang wajahku jelek. Tapi kalau jelek, kenapa kamu mau berteman sama aku? Kamu diam, jika aku balik menohok macam itu. Kamu kehilangan kata-kata dan segera saja kamu alihkan dengan tawaran. Sebuah senyuman.

***
“Apa kabar kamu?,” sapamu setelah sekian lama tidak bertemu.
“Seperti yang kamu lihat!,” jawabku sambil mengamati penampilanmu yang jauh berbeda. Dandananmu sudah berubah. Kamu sudah gunakan pewarna bibir. Pun pakaian yang kau pakai semakin minim, apalagi rok mini dan stelan tanktop yang membaluti tubuhmu membuatku pangling.
“Oh… ini Dirga. Seorang yang mau kuperkenalkan denganmu lewat suratku tempo lalu?,” sambungmu sambil merengkuh tangan lelaki yang sejak tadi berdiri di sampingmu.
Aku sesenggukan saja menyalami lelaki yang kau sebut Dirga itu. Aku merasa asing dengan kehadiranmu. Aku tidak kenal dirimu lagi, Sofia. Tidak hanya penampilan tetapi sifatmu. Kamu tidak semanis dulu.
“Sofia…, ini untukmu!,” kuserahkan puisi-puisi yang kubuat sebelum kepulanganmu.
“Terima kasih, sudah dulu ya…, aku mau menemani Dirga jalan-jalan!” Lalu kamu menggandeng lelaki itu menjauh dari hadapanku. Sekali lagi, aku bisa apa?
Aku hanya bisa menelan air liur. Pahit.
***
Seminggu kemudian engkau datang ke rumahku. Kali ini tidak bersama lelaki itu. Kamu sendirian.
“Ada apa Sofia?,” tanyaku karena kulihat air mukanya memancarkan kegelisahan.
“Aku pamit. Hari ini seluruh keluargaku akan ikut aku menetap di jawa!” Setelah itu kamu menyalami tanganku. Aku merasakan hangat. Menyeruakkan seluruh samudera biruku. Aku tak ingin berpisah denganmu, Sofia. Aku tak mampu mengucap apa-apa. Karena airmataku yang menetes cukup mewakili kata apa yang mesti terucap. Aku remuk mendengarnya. Seandainya aku burung, maka sayapku ini patah karena angin berita itu. Pun ketika aku hendak memelukmu, kamu menghindarinya. Malah kamu pergi meninggalkanku dalam tangisan.
***
24 Juli 2006
Seperti kemarin aku tetap membuat puisi untukmu, Sofia. Aku tuliskan kata-kata diselembar kertas berwarna kelabu. Aku luapkan segala rasaku yang tak pernah sampai. Sebab aku bisa apa.

Sofia terukir diprasastiku
setiap penghujung malamku
yang juga sempat menghantui jati diriku kemarin
sore
pun aku mengeluh padamu;
temani aku mengukur jalan-jalan yang akan kulalui
esok hari
tapi kau tak pernah menjawab, membuat aku
semakin khawatir akan kebungkaman yang kau miliki

Sofia terukir diprasastiku
pada hatiku yang mulai merekah
sementara, jam berdetak cepat di belenggu
jiwaku yang lain
lalu disetiap detiknya, aku hanya mencoba berbagi
rasa untuk bisa mentasbihi namamu; Sofia!
karena itulah kerjaku adanya

Sofia terukir diprasastiku
membukakan beberapa ayatku yang ditulis
matahariku
karena aku hidup bukan untuk aku tetapi
demi dini-petangmu di kancah mendatang

Sofia terukir diprasastiku
pernah menghadang sudut kegelisahanku
yang kemudian menuaikan aroma kharismatik buluh airmata
bunga dipersinggahan waktu
Duh, Sofiaku yang kian hari kian dekat,
sedekat pemisah antara jasad dan ruhnya
peletak degub jembatan kenanganku
di perkosaan zaman

Sofia terukir diprasastiku
dengan pena asmara ini aku tuliskan dalam
kalimat-kalimat penabuh dendang
irama dewa
bahwa syair penyejuk kembaraku telah menembus
tulang-darah serta segala apa yang ku miliki
untuk memahamimu yang kini
terukir diparastiku; SOFIAKU !

Tapi baik puisi ataupun surat yang kutulis tidak lagi pernah kukirim kepadamu. Alamatmu sekarang aku tidak tahu dan kamu tidak pula memberitahunya. Semua surat yang pernah aku kirimkan ke alamatmu dulu, dikembalikan tukang post.
Aku tidak tahu lagi bagaimana kamu sekarang. Ada dua arti yang aku simpulkan dari salam perpisahan setahun lalu. Sampai jumpa atau selamat tinggal.
Tanpa sadar aku menangis, mengingat semuanya. Aku bisa dikatakan lelaki cengeng, tapi apalah aku. Inilah adanya.
“Dicari kemana-mana ternyata Piannya di sini? Itu nah Sofia menangis, ulun mau ke pasar dulu menjual sayur!”
“Iya…,” jawabku memelas sambil menghapus airmataku. Sedang puisi yang baru saja kutulis itu aku sobek. Seperti perasaanku. Lalu kukunci kamar itu dan pergi menghampiri putriku yang sedang terlelap.
Lekat-lekat aku memandangnya. Baru dua minggu ia menjalani usianya. Aku tercenung, perasaanku mestinya lebih besar tercurah padanya. Pelan-pelan aku belai kepalanya. Kucium dahinya. “Sofia sayang, jangan tinggalkan bapak ya nak?” . Lalu kucium lagi dahinya…***

Guntung Payung, 30 Agustus 2005 05:40 PM
TERIMA KASIH ANDA TELAH MENGAPRESIASI CERPEN SAYA SEMOGA JUMPA LAGI