Selasa, 05 April 2011

BAB KETIGA NOVEL ENIGMA

Sesudah Pembakaran

Rumah demi rumah, sepasang Sussex Inlet Road

di selamatkan oleh pasukan,

oleh sebab keahlian, keberanian, keterampilan

tapi pada saat api mencapai pinggiran kota kecil itu,

berkelarian liar besar, terlalu banyak hidangannya,

dan pilihannya – ada yang dihancurkan,

dan pipa rumah berbelit-belit,

seperti gula gula terbakar.

(Ian Campbell)

1

Asap-asap berhamburan di sekeliling.

Pukul 06.20

“Hidup terus saja menderu , mengikuti aliran zaman yang tak tahu dimana ujungnya, hari ini aku mau istirahat tanpa gangguan dari seluruh kepenatan pekerjaan di kantor!” Namun ….

“Ayah…!!! Ayah…!!! Aku menemukan sesuatu!” Khudhan yang mendengar teriakan anaknya langsung keluar kamar dan mencari sumber suara itu. Ia tahu kalau Adetra tidak akan begitu histeris jika ….

“Ayah, coba lihat benda itu! Apa itu ayah? Aku tak pernah melihat sebelumnya. Benda itu kulihat ketika aku selesai merapikan meja makan !” Adetra menunjuk ke sebuah benda yang sangat aneh yang letaknya hanya 100 meter dari ruang dapur tempat mereka tinggal. Benda itu berbentuk oval dengan warna silver, ia seperti igmobilef yang mempunyai bentuk setengah lingkaran, namun benda itu lebih mirip seperti cakram.

“Adetra, ayah mau keluar memeriksa benda itu!” Tegas Khudhan sambil mengenakan jaket hitam dan celana abu-abu yang dibuat dari bahan alumunium.

“Baik ayah, tapi sebentar lagi aku mau latihan teater buat kolaborasi persahabatan di Yupiter minggu depan. Dan igmobilef ayah aku pinjam ya…?” Pinta Adetra, tapi Khudhan tidak lagi mendengar ucapan anaknya, seluruh indranya kini tertuju ke benda aneh tersebut. Dan dulu, sebelum Khudhan dikirim ke Enigma, ia adalah seorang seniman dibidang teater. Bakatnya itu, ternyata diwarisi oleh putranya. Meski generasi terus berganti, aura seni yang penuh abstraksi selalu mengalir mengikuti zaman. Seni akan tetap tumbuh pada jiwa yang mengerti betapa berharganya arti sebuah kehidupan. Seni tidak akan pernah mati. Ia selalu abadi dalam fitrahnya.

“Hati-hati ayah!” Pesan Adetra ketika Khudhan membuka pintu belakang dan iapun hanya membalas dengan acungan jempol.

Dengan perasaan was-was Khudhan mendekati benda aneh itu namun, sebelum ia sampai di tempat tujuan, ia dikejutkan oleh dua lelaki yang keluar dari samping kanan benda tersebut. Keduanya memakai seragam ketat berwarna perak, baik baju, celana maupun sepatu. Yang satu berbadan gemuk dan satunya lagi agak kurus. Namun tinggi keduanya tetap setara. Tinggi mereka kira-kira 1,6 meter. Tapi Khudhan tidak pernah bertemu dengan orang-orang seperti ini sebelumnya, mungkin mereka berasal dari planet lain.

“Siapa kalian?” Khudhan mencoba memecahkan keheningan.

Lalu yang berbadan gemuk menjawab, ”Maaf, jika kedatangan kami mengejutkan anda. Tapi kami di sini tidak bermaksud jahat, kami hanya tersesat!”

Kemudian yang kurus menambahkan, “Kami berasal dari Mars, tadi malam kami mengalami kejadian yang luar biasa. Yang jelas kami dikejar oleh OWH, kami mencoba menyelamatkan diri hingga aku lupa dan tidak peduli lagi penunjuk arah untuk pulang ke Mars. Oh ya, perkenalkan namaku Ree Colosalevadhan dan ini sahabatku Goro!”

“Aku Khudhan Sunuglips!” Dan kedua makhluk asing itu bersalaman dengan Khudhan. Sekarang perasaan Khudhan menjadi tidak keruan, antara bingung, tidak percaya dan kagum. “Aku yakin kalian pasti lelah, bagaimana kalau kita sekarang ke rumahku? Letaknya tidak jauh dari sini!” Ree dan Goro hanya menganggukkan kepala.

“Tapi tunggu sebentar!” Sela Ree, sambil beranjak menuju ke dalam ruang benda aneh itu, rupanya ia mengambil sebuah koper yang isinya pasti sesuatu yang sangat berharga. “Sekarang aku sudah siap, yang mana rumahmu?” Ree bertanya karena rumah-rumah di sana semuanya sama baik warna dan bentuknya.

“Itu dia!” Khudhan menunjuk lurus ke depan, tepat di hadapan dimana ia berdiri.

Lalu mereka berjalan bersama menuju rumah yang dimaksud. Di dalam perjalanan, mereka bertiga hanya diam seribu bahasa. Entah apa yang ada di dalam benak mereka masing-masing.

***

Sekarang sudah pukul 11.15, matahari bersinar dengan sisa kemampuan yang dimilikinya. Ia masuk menerangi rumah Khudhan melalui ventilasi udara yang letaknya tidak jauh dari ruang tengah, ruang yang diisi dengan sebaris sofa berwarna ungu. Tempat ketiganya berbincang. Kali ini situasi semakin rumit, pembicaraan sengitpun terjadi.

“Dengan kata lain, kalian juga berasal dari Bumi?” Khudan betul-betul tak percaya bahwa penerapan Teori Relativitas Einstein benar-benar ada dan salah satu buktinya adalah keberadaan dua makhluk asing ini.

“Dulu nenek moyang kami berasal dari Benua Atlantis, namun sekitar 9000 SM bencana banjir yang teramat dahsyat menengggelamkan benua itu, untungnya sebelum bencana itu terjadi, mereka mendapat sinyal dari getaran radiasi gelombang magnet. Mendapat kabar tersebut mereka langsung menyiapkan pesawat raksasa yang kapasitasnya menampung 2000 orang, lalu pesawat tersebut mendarat di luar angkasa. Tepatnya di Planet Mars”.

“Lalu apa yang menyebabkan kalian sampai berada di Enigma ini?”

“Kami juga tidak tahu!” Ree menjawab, “Namun…, ah…, aku juga bingung. Tadi malam, kami melewati suatu tempat, yang mana mengakibatkan mesin pesawat tidak berfungsi, bahkan lampupun padam, keadaaan begitu pekat. Tak ada yang terlihat kecuali kegelapan. Kami berdua terhimpit oleh kegalauan. Tapi beberapa saat kemudian kami melihat sebuah titik terang, lama-kelamaan kami sadari bahwa itu bukan sejenis titik terang biasa, ia seperti lubang. Ya…, lubang yang sangat benderang. Lalu pesawat kami tersedot ke dalam lubang itu. Dan tiba-tiba saja ketika kami sadar, kami sudah berada di sini.”

Khudhan diam sejenak, kemudian ia membuka beberapa file dari zuharfv komputer diva digital, yang sejak tadi berada di atas meja, “Aku pernah mendengar tentang hal itu, orang-orang menyebutnya lubang hitam. Lubang itu merupakan tempat perpindahan yang berhubungan erat dengan ruang waktu. Namun, banyak ahli di Bumi sekitar tahun 1960-an yang mengklaim hal itu dengan anggapan telah menyalahi konsep sains. Bahkan aku sendiri sependapat dengan mereka, aku tidak percaya terhadap hal-hal yang berbau paradoks. Tapi, setelah aku bertemu kalian, aku baru menyadari bahwa Teori Kemungkinan milik Einstein betul-betul dapat dicamkan!, lalu apa penyebab OWH mengejar…,” Ree langsung memotong ucapan Khudhan.

“Begini, apa kau tahu tentang Kepulauan Bermuda, San Juan dan Miami?”

Dengan lugas Khudan menjawabnya, “Segitiga Maut, Segitiga Bermuda!”

“Tepat sekali!, lalu apa yang kau ketahui tentang hal itu?”

“Entahlah, namun yang pasti ada suatu misteri yang terkubur disana. Banyak pesawat yang melewati kawasan itu menjadi korban. Mereka semua raib tanpa jejak!”

Goro yang dari tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan keduanya, mulai berturut serta, “Apa kau tahu penyebabnya?”

“Tidak,” jawab Khudhan singkat.

“Baiklah, akan kuceritakan yang sebenarnya. Tapi kau harus janji tidak akan memberi tahu siapapun, karena ini sangat rahasia. Bagaimana?” Khudhan hanya menganggukkan kepala.

“Sebenarnya yang membuat kawasan Segitiga Bermuda itu adalah kami!”

“Apa!” Khudhan tak percaya.

“Ya, itulah kebenarannya. Di Mars, kadar gravitasi begitu sedikit dibanding Bumi, dan kami membutuhkan medan magnet yang luar biasa untuk menetralkan kondisi di sana, satu-satunya cara adalah mengeruk logam-logam yang bersemayam di Segitiga Bermuda. Lalu, kami mentransfernya melalui radiasi matahari. Akibatnya, setiap kapal dan pesawat yang melewatinya akan musnah dan hanya menyisakan puing-puing tak berjejak.”

Khudhan begitu nanar mendengar penjelasan Goro, “Aku tak menduga bahwa kalian tega melakukan hal itu demi kesejahteraan di Planet Mars. Dimana rasa tanggungjawab kalian, padahal korban yang diakibatkan dari perbuatan itu adalah saudara kita juga. Dan kenapa… Kenapa harus Bumi?”

“Kami tahu, kami salah tapi…, hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan kami!”

“Kalian betul-betul keterlaluan!”

“Keterlaluan katamu, Khudhan kau tahu apa yang mereka lakukan terhadap kami. Apalagi Si JAHANAM OWH, karena merekalah situasi di Mars menjadi kacau dan karena merekalah penduduk di Mars mati!”

“Apa hubungannya dengan OWH ?” Kali ini Khudhan benar-benar tak mengerti maksud Goro.

Lalu Ree mencoba menjelaskannya. “Khudhan, pernahkah kau berpikir tentang efek yang diakibatkan oleh suatu kata yang berkaliber besar seperti Perang Dunia Pertama. Pernahkah terbayangkan olehmu efek radioaktif yang digunakan negara-negara maju untuk menaklukan saingannya? Dan apakah kau tahu kemana efek-efek tersebut berakhir?” Khudhan hanya diam.

“Tahukah kau bahwa semua itu telah menghancurkan kami. Karena radiasinya tertuju ke planet kami! Sekarang, yang tersisa di Mars hanya sisa-sisa peradaban. Hanya kami berdua saja yang selamat dari amukan radiasi itu!” Tak sepatah katapun yang sangup keluar dari mulut Khudhan.

“Sekitar abad ke-16 OWH mengetahui keberadaan kami. Dan ia sangat menginginkan kami. Ia ingin menguasai kami. Menguasai Mars!”.

Tiba-tiba saja penjelasan Ree terpotong, karena bunyi sirine yang begitu menggema, namun Khudhan tahu bunyi itu berasal dari Te Zeusubim, Teknologi Pengaman tlepannimusz ruangan. Sedang di luar, orang-orang ribut karena terkejut oleh sirine tersebut. Dan hal ini baru kali pertama terjadi setelah Teknologi Pengaman tersebut dibuat. Kemudian Khudhan membuka beberapa file Te Zeusubim dan ternyata…, ”Fred…, Ree…, coba kalian lihat ini!” Khudhan memperlihatkan tulisan dari zuharfv komputer diva digital miliknya.

“BRENGSEK! Ternyata OWH mengetahui keberadaan kita!” Goro begitu menggeram, tampaknya ia sangat membenci, dendam, ia betul-betul marah kepada OWH. “Ketahuilah Khudhan, bahwasanya OWH itu sangat jahat, ia haus akan kekuasaan, ia adalah satu-satunya alat untuk menguasai dunia, tapi kami berhasil mencuri aset berharga milik mereka, di dalam koper ini terdapat gabungan unsur gas metana dan zat nuklir yang keduanya telah dicairkan. Apabila diledakkan maka akan menghancurkan sebagian alam semesta ini!”

Khudhan begitu terkejut mendengar kisah Ree yang begitu menggelora. Ia tak pernah menyangka bahwa koper yang dibawa oleh mereka itu adalah zat penghancur yang siap memusnahkan bagian jagat raya. Dan ditengah ketegangan itu, terdengar suara yang memecahkan kebisingan orang-orang di luar. Suara itu berasal dari Pemancar Te Zeusubim.

“Daerah ini telah kami sabotase, kedatangan kami ke planet ini tak lain mencari musuh kami yang bersembunyi di tempat ini. Dan dalam hitungan lima menit, apabila kalian tidak menyerahkan mereka, maka tempat ini akan kami hancurkan!” Sesaat keheningan menjelma.

“Ree…, sepertinya tak ada pilihan lain bagi kita! Khudhan bisakah kau mengantarkan kami ke tempat asal suara itu?”

“Jadi, kalian mau menyerahkan diri?” Khudhan agak heran mendengar keputusan itu.

“Baik Goro, aku setuju dengan pilihanmu itu,” jawab Ree.

“Apa kalian gila?, kalian akan dibunuh oleh OWH !” Khudhan mengingatkan.

“Khudhan, tenang saja kau. Aku dan Ree pasti bisa mengatasinya, kendati…, Khudhan cepat kau antarkan kami, sebelum waktu habis. Karena mereka tidak pernah main-main dengan kata-kata yang diucapkannya!”

“Baiklah, apa boleh buat!” Khudhan mengalah.

Ketika Khudhan membuka pintu, didapatinya Adetra yang kebingungan dengan atensi yang baru saja didengarnya. “Adetra, mana kunci igmobilef ayah?”

“Ayah, ada apa ini, apa yang sebenarnya terjadi?” Adetra bertanya sambil memberikan kunci ighmobilef yang diparkirnya di pinggir jalan, sisi kanan rumah mereka.

“Tak ada waktu untuk menjelaskannya Nak! Yakinlah, semuanya akan baik-baik saja. Ree…, Fred…, ayo!” Kemudian ketiganya memasuki igmobilef , sedang orang-orang di luar nampak kebingungan apalagi ketika melihat Ree dan Goro. Di jalan, Khudhan mengendarai igmobilef dengan kecepatan tinggi.

“Itu tempatnya!” Khudhan menunjuk Te Zeusubim dengan telunjuk kirinya. Sesampainya, mereka langsung berhambur ke pintu utama, tapi sebelum membukanya seorang laki-laki berkacamata hitam sudah menghadang mereka dengan mengacungkan senjata kepada ketiganya, ia berteriak “Mereka datang, mereka menyerah!” Lalu dia mengantarkan kami ke ruang utama.

“Hebat, kalian berdua benar-benar hebat, kalian bisa lolos dari kejaran kami semalam, tapi kalian lupa bahwa jejak kalian masih terekam di komputer kami.”

“Khudhan, dialah pemilik OWH, yang selama ini meresahkan kami!” Ree menunjuk laki-laki yang mengenakan jubah biru, yang berdiri persis di depan Khudhan.

“Aku tidak mau berbasa-basi, cepat kau serahkan koper itu!”

“Menyerahkan ini, jangan bermimpi kau BAJINGAN, lebih baik kuledakkan saja isinya daripada jatuh ke tangan orang sepertimu!” Goro sangat kesal atas pernyataan laki-laki itu.

“Apa kau berani melakukannya?” Laki-laki itu menantang.

“Kau kira aku takut!” Goro mengeluarkan pistol yang bersembunyi di saku celananya dan mengacungkannya ke arah koper yang ditenteng dengan tangan kirinya. “Lihat ini!”

“Goro jangan ceroboh kamu!, sadarlah apa yang kau lakukan!” Khudhan mencoba mengurungkan niatnya.

Sedang Ree yang berdiri di sisi kanan Goro hanya diam, seakan-akan ia setuju dengan apa yang akan diperbuat oleh rekannya itu. “Kalian, orang-orang OWH telah banyak melakukan kesalahan, kalian manfaatkan keadaan untuk misi kalian yang sangat terkutuk. Kalian telah menghancurkan kami, dan aku tidak akan memaafkan diriku apabila kali ini kalian lolos begitu saja!” Lalu Goro meledakkan isi koper itu dengan pistol yang bertengger di tangan kanannya. Maka…, DHUAAARRR !

Ledakan dahsyat terjadi. Dimana-mana lahar kripton bertebaran dan tak seorangpun yang mampu meloloskan diri dari keganasannya. Di atas, atmosferpun runtuh akibat amukan nuklir yang mengenainya. Tidak itu saja, di angkasa raya dentuman hebatnya itu mengakibatkan rotasi para planet terhenti beberapa waktu. Komet, satelit, asteroid dan meteoroid yang berada didekatnyapun hancur berkeping-keping. Enigma musnah !!!

***


SRI,SASINGGAM



Oleh: Hudan Nur

PAHIN pahinakan kada kawa baungkara. Manjanaki madah pahumaan wadah kita maniti rasa. Sasinggam tatak pambanihan masih haja takaluar mun maitihi kalakuan inya. Liwar. Kada kawa tehapus dalam buluh paingatan ulun nang saban hari mamintal ija dami ijaan puisi bariannya. Mun malam bahinggap di lindau urat, kacilangan buhul kiyauan mata kada lagi taturuti. Ulun baca pulang puisi-puisi pian nang meanduh. Hibak buhauan. Sri Nur Nengsih.
Bahanu bila taimbai ka sakulah inya bapadah “Udin. Udin. Sampiyan sudah juakah mambaca puisi nang ulun unjuk semalam. Semalam kita kada tetamu. Ulun hadangi. Tatap jua kada tedapat. Imbah itu ulun titipakan ai lawan Anang. Adalah inya maunjukakan nu pian?” Padahal saingat wan sapangatahuan ulun. Sri kada parnah talihat mahadang ulun. Pabila-bila? Paling jua Anang mun inya kada hauran, parak sanja ka rumah. Maantar puisi, sambil manakuni jawaban pi-ir hagan isuk harinya. Tapi kada papa jua. Ulun tatap katuju. Maski, inya lain urang banua. Tapi basa Banjar yang inya tulis dalam puisinya sampurna. Pandiranya gin, rikit banar banjarnya wan logat-logatnya. Kada katahuan kalu inya sabukuan lain urang banua. Sri mairingi kaluarganya lima walas tahun nang lalu pas abahnya manjabat pambakal kampung Sungai Tatak Ampat.
“Iih. Ada ai anaknya Haji Tukacil nu rumah maampah maghrib sumalam.”
“Kayapa manurut sampiyan?” Sri batakun pulang.
“Ai, napanya nang manurut ulun?”
“Isinya tu pang…”
“Liwar.”
“Napanya?” Sri pina balangsar kada tapi paham.
“Sri, sampiyan tu… kada kawa ulun kisahakan lagi. Ulun pina tahanyunyung samalaman. Sabatik ijaan kadada malingkaui indahnya puisi sampiyan. Liwar. Kababagusan Sri ai…”
Sri talingkup supan. Muhanya bahabang. Kahimungan.
“Antara puisinya wan nang manulisnya sama-sama kababagusan. Wan langkar-langkarnya… Ulun kada kawa mamajamakan mata. Nang taingat pian… pian… pian tatarusan…”
Bamagin Sri talintuk sanang hatinya. “Udin ni.. bisa banar… Din, ulun badahululah…”
“Bedahulu? Kanapa? Baimbai wan ulun aja… Jauh jua lagi… kada usah badadas!”
***
25 September 2004.
Ulun kirimakan riak-riak pahinakan ulun salawas talu tahun lalu. Salawas Sri bulik ka banuanya manyambung sakulah. Ka jawa. Kaya ini bunyinya;
Ulun sudah jua mambuktiakan. Baharaganya sinarai jiwa nang lupau. Manjumput ari yang kada kawa tailah. Babujur ngalih malindaui hati nang marista. Mun kawa baucap, ulun kada sanggup lagi manyaurangan. Bahindap banyu mata. Saurang mambilas parih hadang-mahadang. Kada jua tapakui. Pahin maharap kada kawa sampai. Talalu. Ngalih banar.
Mun bulih manjapai. Tasapui saliput angin nang manyirau. Manambahi padih sampai ka bumbunan. Kada jua pahin talapas kartas puisi dewi malam dari ganggaman ulun. Mun tailah, ulu hati ulun manyamak. Kada tahu jua napa panyababnya. Tagal manyasak mun bahinak. Barang sajampal buku nasi kada kawa jua tataguk.
Maitihi kartas-kartas barian pian mambawa ulun ka alam subalah. Alam impian ulun. Pamungkas lara yang salawas ngini manjanjiakan kabahagiaan. Di tambah pulang papadah abah Ibui kalu hidup kada manyambung pahinakan wara tapi manyambung mimpi nang tapagat di rukui sang widi. Urang hidup harus jua baisian mimpi. Mun kada, apa jua gunanya manajaki ulin di madah pahumaan nang licak? Bila kadada tugalan wan harap masih ada carucuk bahagia.
Ulun supan bapadah nu pian kalu ulun kada kawa guring mun kada mambaca puisi-puisi pian nang kaya papikat ulun mambuai harapan nang talanjur jauh tatanam. Maka wan ini jua ulun baharap, mudahan pian di sana kawa manyirau panji-panji kapadihan hati ulun. Baganti buhauan nang salalu ulun ganang. Ulun di sini tatap haja kaya bahari. Mahadang.
Salalu manasbihi ngaran pian,
Syamsuddin
***
Bilang ribuan kata sudah ulun buhul manyambung asa ulun nang hara mahadang. Harap-maharap, mudahan hati ini kada tagampir wan nang lain. Sambil mahadang musim katam, ulun maulangi puisi-puisi bariannya. Babanarannya, tulisan pian itu kada tapi bagus. Tapi bagi ulun sampurna mawakili hati ulun nang saban malam kakadapan, bahanu kadinginan. Tapi, mun tabaca tulisan pian, ulun marasa nyaman. Guring pun asa nyanyak.
***
23 November 2004.
Ulun wayah ngini lagi mahabui parai. Mun kadada halangan ulun handak bulik ka Banjar. Hadangi ulun lah???... Salajur ulun handak manganalakan pian lawan kawal ulun. Ulun karindangan wan pahumaan wadah kita bamain katam-kataman di padang Haji Tukacil. Ulun handak mambawai kawal ulun ngitu ka sana jua, kita kena bamainan banih baumbai…. Ah… ulun kada tapi sabar lagi!
***
1 Januari 2005
Ulun kada kawa lagi marasa kamardikaan. Ulun taikat masih. Kada mardika. Ulun kada kawa manambaikan hati nang talanjur padih. Padih banar. Imbah ngitu ulun balas pulang suratnya;
Babujur? Pian datang kasia? Ulun hadangi pian. Kaina ulun kawani pian bakuliling. Pahumaan Haji Tukacil batambah pulang, tujuh burungan jadi kita puas manugalinya. Kabar pian ini, manyumangati ulun nang sawat tahilangan panjanakan gasan isuk. Lajui datang Sri…
Selalu menasbihi ngaran pian,
Ulun pura-pura umpat himung. Dalam surat pian nang ulun baca bakalian, sabujurnya hati ulun manangis. Tapi ulun bisa apa? Ulun hanya urang kampung yang kada kawa bepadah kada. Asal ulun kawa malihat pian bahagia. Ulun rila mengubur api di hati ulun. Ulun harus mehancurakan parih kasuban luka di hati. Mun pian jua mahandaki nyawa ulun. Ulun bariakan. Ulun sadar haja pang, siapa gerang diri ulun ngini. Ulun anak urang nang umpat maambil upah mangatam di pahumaan Haji Tukacil. Nang panghasilannya babaya ada. Babaya kawa hagan makan bapais lara.
***
Pitung hari ulun mahadang. Salawas itu jua, ulun mamintal ija-ijaan nang bungaran gasan pian mun sampai ka hadapan ulun. Tau tahunan ngini ulun taumpat-umpat pian. Taumpat katuju maulah puisi. Ulun sibuk memilah ija mana nang sakiranya pas gasan pian. Sri.
Satumat imbah ngitu ulun tadiam. Malamun. Ulun taingat waktu masih di Aliyah. Ulun taingat pulang apa-apa tentang pian. Ulun paling katuju maitihi pian. Tapi pian kada tahu. Ulun paling katuju menjanaki muha pian. Langkar banar. Lasung pipit pian, mambari kapingin.
Kakawalan nang lain ada bapadah kalu muha ulun ngini kada kalah wan pamain film Sahrukh Khan. Tapi ulun kada tapi mandangarakan pandiran bubuhannya kerana pian salalu baucap kalu ulun gin kada bungas. Tapi, mun kada bungas kanapa pian masih haja hakun bakawan wan ulun? Pian diam, mun ulun batakun macam ngitu. Pian kada kawa lagi baucap, imbah tu pian takurihing. Langkar banar.
***
“Kayapa habar pian?” Ujar pian pas tadapat.
“Kaya ngini pang…” jawab ulun sambil malihat panampilan pian nang jauh banar bidanya. Wayah dahulu pian kada bisa badandan. Tapi nang ngini… Pian bagincu. Pian makai baju nang mampas di awak. Ulun pangling.
“O.. iih… Ini Bastoro kawal yang ulun kisahakan…” Sambung pian sambil bapingkut ka pinggang lalakian nang bangaran Bastoro tadi.
Ulun asa hambar manyambut tangan lalakian nang badiri di higa pian. Ulun kada lagi manganali diri pian. Kada panampilan haja nang barubah tapi kalakuan pian jua taumpat baubah.
“Sri… Ini gasan pian…” ulun unjuk puisi-puisi ulun yang sawat tapintal sambil mahadang pian ka banjar.
“Makasih… ini, ulun handak mambawa Bastoro bakitar-kitar…” Imbah itu, pian menggandeng lalakian ngitu manjauh dari hadapan ulun. Sakali lagi, ulun bisa apa?
Ulun hanya bisa managuk banyu liur. Masam.
***
Pitung hari barikutnya pian datang ka rumah ulun. Pian datang saurangan.
“Ulun handak bulik ka Jawa.. Hari ini, kami sakaluargaan handak pindah ka Jawa!” Mandangar ucapan pian ulun kada kawa baucap apa-apa lagi. Ulun kada sanggup tapisah wan pian. Walau ulun tahu pian sudah… Sisa banyu mata ulun haja nang gugur mawakili padihnya hati. Ibarat burung, halarnya rabit mandangar barita Sri, pas ulun handak meragap pian. Pian bajauh, malah maninggalakan ulun dalam limpuar banyu mata. Banyu mata urang miskin, nang hatinya tacabik-cabik manimbal maras.
***
25 September 2007
Urang tacagal salajur takijajang lawan parigal ulun. Ulun kada hingkat batantan burinik banyu mata. Ulun kada lagi ludang bapikir. Ulun mahing kada tajua taparukui manulis. Ulun masih mamintal puisi. Itu pang lagi nang bisa mambantu ulun maarit padihnya batin.
Sri masih likat dipahinakan
Sasinggam Sri meliirakan sagumpal ricuh
Ulun kada rigi manimbal maras
Mangisai prasasti di padang huma
Sri masih likat dipahinakan
Manyirau papakirma nang manggantung
Di surau limpuar
Ka ujung-ujung parakit subalah
Sri masih likat dipahinakan
Bagagararak manyurung sasinggam pirucuk
Nang bagumpal di sanarai tasbih
Sambil baucap…
Puisi-puisi ulun kada lagi sampai ka tangan pian. Ujar kurir post, pian sudah pindah alamat. Ulun kada tahu kayapa pian wayah ini. Kada sadar banyu mata baburik. Ulun bisa haja disambat panangisan, tapi kaya apa lagi?
“Astagfirullah, ulun cari kamana-mana sakalinya pian kasia? Nah, himpuakan Sri ulun handak ka pasar hulu, bajual sayur!”
“Inggih…” Jawab ulun sambil mehapus banyu mata salajur merabit puisi yang hanyar haja tuntung di gawi. Tuntung itu, ulun mangunci lawang wan perasaan ulun nang tahambur baburinik. Kada lawas, ulun mandatangi anak ulun nang bapuat.
Hinip ulun manjanaki inya. Umurnya jalan talu minggu. Ulun pusuti bumbunannya, “Sri sayang, jangan tinggalakan abah nak lah?” Imbah ngitu, ulun ciumi dahinya…***
TERIMA KASIH ANDA TELAH MENGAPRESIASI CERPEN SAYA SEMOGA JUMPA LAGI