Tuhan, Hudanilah Aku…
KARATAU masih seperti kemarin. Lugu, belum ada tanda-tanda transisi. Ia terhampar di kaki gugusan meratus. Sejuk. Bagiku, ia salah satu surga dunia yang pernah kukenal sejauh ini. Ya, aku bangga telah mengenalnya. Dia jugalah yang menjadi saksi kami, dari datu-datu, kakek, ayah dan aku tentunya. Terlalu indah untuk dilupakan. Ia menyimpan semua ketahuannya akan curahan perasaanku yang kemarin pernah aku keluhkan kepadanya, sesaat menikmati keperawanannya. Akan cinta-cintaku, Winda, Rahmi, Ratna, terlebih-lebih gadis cantik, berkerudung, putih… akh… Yayu namanya. Ketika namanya kusebut, hatiku berdegub apalagi bila aku berpapasan di jalan, di kelas misalnya. Akh… ia selalu mengubar senyum manisnya. Bibirnya. Wajahnya. Aku, aku, aku tidak bisa melupakan itu. Aku sangat mencinta. Oh Yayu.
Kami sama-sama bersekolah di SMAN 1 Barabai. Kedekatan perasaan ini, berawal saat aku dipercayakan memangku jabatan ketua osis di sekolah itu. Dan Yayu, bendaharaku. Biasanya, sebelum tidur, aku senantiasa mentasbihi namanya. “Aku tergila-gila padamu, Yayu sayangku!,” batinku menyeruak, jantungku tidak bisa mentoleransi ketika kusebut namanya. Seperti inilah jatuh cinta?, akut dan bisa membunuh.
“Maaf! Aku tidak bisa, kita berteman saja ya…?,” jawabnya ketika aku mengatakan perasaanku untuk kali ketiga. Karena setahun cukup bagi hatiku menahannya. Dan sebentar lagi pengumuman kelulusan di pamerkan. Aku tidak mau menyia-nyiakannya dengan berdiam diri, menahan egoku. Aku tidak mau kecewa karena terlambat. Ya, aku tak mau itu terjadi. Berkali-kali sudah kuutarakan ketulusan cintaku ini lewat
***
Kisah ini berawal. Ketika aku gagal memenuhi impian orang tuaku. Aku gagal masuk STPDN karena yang lain tidak mengandalkan kepiawaian otak tapi kelihaian melubangi dompet sendiri atau koneksi dengan pejabat di atas, orang pemda, bupati atau berkerabat dekat dengan gubernur. Sehingga rekomendasi menjadi tolak ukur, siapa saja yang berhak memasuki sekolah tersebut.
Kembali aku terluka karena gagal mencumbu mentari. Seperti hatiku, terluka oleh cinta. Masih adakah yayu-yayu yang lain atau cinta-cinta yang lain? Masihkah?
Sebagai gantinya, aku terpaksa kuliah di UNLAM
Sedang aku dan rakyat-rakyat lain hanya bisa mengisap jempol melihat aksi mereka. Mau mengadu? Pada siapa? Mereka berkomplot, menguasai pertiwi ini. Karena sama-sama tikus. Sama-sama bekicot. Padahal kami tahu bahwa bekicot itu menjijikkan, tapi apakah bekicot-bekicot itu tahu dirinya menjijikkan? Kalau ia juga berteman dengan bekicot?
Aku meluka karena semua ini. Aku meluka karena nasib, juga karena cinta.
Masih adakah cinta lain yang juga suci? Melebihi ketulusan cinta-cintaku sebelumnya.
Cinta… cintailah aku, cinta!
Sayang… sayangilah aku, sayang!
Kasih… kasihilah aku, kasih!
Peluk… pelukilah aku yang mendambamu!
***
“Ass. Maaf mengganggu. Kenapa sih kamu selalu memusuhiku? Apa salahku sama kamu? Aku hanya orang kampung yang datang ke
“Namamu Aurakan? Aku teman sekelasmu, kita sekarang ada mata kuliah agama dan bertempat di aula dua?,” sapanya sambil memperkenalkan namanya. Lalu kuikuti saja langkahnya. Karena aku buta sama sekali dengan lingkungan baru ini.
“Perempuan aneh!”, hatiku berbisik. Sungguh dia perempuan agresif. Aku tidak pernah menemui manusia seperti dia. Dan mata itu, mata yang ada dibalik kacamata itu, mata yang….
“Wss. Drmn km th no.q? Lalu apa urusanmu dgnq? Jgn ganggu aq!,” dasar wanita aneh gumamku. Aku dibuatnya bingung. Apa salahku sehingga ia begitu? Ia begitu ketus. Kasar. Tidak lembut sedikitpun padahalkan dia seorang wanita. Guratan keibuanpun tak tampak dari kesehariannya. Berkali-kali aku mengirim sms dengan niatan baik. Untuk berkawan. Tetapi yang kuterima hanya makian, umpatan-umpatan kasar, seperti brengsek.
Jujur saja, aku tidak pernah mendapat perlakuan demikian sebelumnya. Apalagi dari seorang wanita. Tidak sekalipun. “Oh, Tuhan! Ampuni hambaMu. Hudanilah langkahku supaya tidak mengecewakan orang-orang terdekat, seperti ibu-bapak. Bimbinglah, hudanilah aku!,” pintaku padaNya ketika menutup rutinitas wajib setelah seharian penuh diujiNya. Dengan begini, perasaanku kembali tenang. Meskipun wanita itu terus memusuhiku. Tak ada sebab yang jelas, kudapat dari alasannya. Hanya segenap amarah yang ia tumpahkan di setiap sms kirimannya. Padahal
***
Anehnya lagi setiap sms yang kukirimkan untuknya selalu di balasnya. Puluhan kali bahkan. Padahal
“Ass. Kamu lagi ngapain?,” tanyaku lewat sms yang baru saja terkirim.
Status of +6281349532305 delivered. 20.05 WITA 24 September 2004.
“Wss. Aq lg mkn. Sebentar lagi slesai, lalu mo k kafe mamanda. Knp sih nanya-nanya? Kurang kerjaan!,” begitulah isi balasannya. Sama seperti yang kulakukan. Makan. Sekarang aku bersama teman sekamarku, menyantap hidangan di sekitar cendana. Maklum, anak kost, menginginkan yang serba praktis. Instant kalau bisa. Dan ini adalah juga yang kali pertama aku lakukan. Keluar malam. Sedari kecil, di Karatau
Dinginnya udara malam
“Nasi sama teh es, berapa Cil?,” tanyaku, sambil mengeluarkan selembar uang
“Tiga setengah,” jawabnya dengan menyerahkan selembar ribuan dan
“Tukar Cil lah?”
Di jalan, aku selalu kepikiran. Akan wanita itu. Setiap kendaraan atau apa saja yang kulihat selalu saja wajah wanita itu membayangi.
KAFE MAMANDA. Itukan?
“Assalamu’alaikum. Kamu ada di mana sekarang?”
“Aku lagi duduk-duduk di kafe!”
“Ini aku ada di depan kafe?”
“Aku tahu, kamu pakai baju hijaukan?, mundur
“Kamu melihatku?”
“Ya donk! Ayo mundur!”
“Aku…!,” pangling,dalam kebingungan.
“Ya gitu, selangkah lagi. Nah, udah liat aku
“Iiiiyaa..,” jawabku seraya menutup telepon genggamku.
“Hai!,” sapanya.
Aku hanya senyum, tipis.
“Duduk yuk? Sambil ngobrol-ngobrol gimana?,” ajaknya.
Aku tertegun, tidak biasanya ia seramah ini. Aku begitu terkesima.
“Mau minum apa? Kopi atau teh?, Jangan sungkan”
“Terima kasih, aku baru aja selesai makan?”
“Nih!, cobain kacang rebus. Enak lho?,”tawarnya.
“Iya!,” jawabku singkat.
……….
***
“Tuhan hudanilah aku, hudanilah dalam memilih. Jalan mana yang Kau ridhai,” ucapku setelah kejadian kemarin. Bersama si wanita aneh. Wanita ketus, kasar, selalu memusuhiku, yang sesekali baik, sesekali ramah, sesekali…
Wanita itu…??
“Aku harus berani! Ya, harus. Apapun hasilnya,” perintahku pada tubuhku yang semakin gemetaran.
“Terima kasih ya… bukunya?,” seraya menyerahkan ke tangan wanita aneh itu. wanita yang…
“Awas kalau lecek!” jawabnya, lagi dalam nada ketus. Khasnya., sambil membolak-balik. Memeriksa kalau-kalau ada kecacatan.
Sebentar.